Turnitin Originality Report
- Processed on: 04-Mar-2023 18:20 CST
- ID: 2028919872
- Word Count: 32142
- Submitted: 1
Sosiologi Pendidikan By Sistem Pakar
- Internet Sources:
- 21%
- Publications:
- 0%
- Student Papers:
- 2%
This is a preview of the print version of your report. Please click "print" to continue or "done" to close this window.
10% match (Internet from 13-Mar-2020)
https://www.scribd.com/document/395199538/Sosiologi-Pendidikan-2
4% match (Internet from 19-Aug-2022)
http://staffnew.uny.ac.id/upload/132326892/pendidikan/Sosio%20Antro%20Pend_Buku.pdf
2% match (Internet from 20-Nov-2020)
https://wanawarta.blogspot.com/2016/03/struktur-sosial-sekolah.html
2% match (Internet from 13-Aug-2022)
https://repository.ucy.ac.id/uploads/utama/file1/Buku%20ke%205%20Heri%20Kurnia.pdf
1% match (Internet from 14-Sep-2022)
https://adoc.pub/sosiologi-pendidikan94ae746f60db6793e00adc1ee002667778388.html
1% match (Internet from 11-Nov-2020)
https://bangudin22.blogspot.com/2013/04/hubungan-stratifikasi-dengan-pendidikan.html
1% match (Internet from 14-Jun-2022)
1% match (Internet from 05-Jan-2023)
http://repository.uindatokarama.ac.id/id/eprint/1404/1/MODUL%20TEORI%20BELAJAR.pdf
SOSIOLOGI PENDIDIKAN Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. SOSIOLOGI PENDIDIKAN Indramayu © 2023, Penerbit Adab Penulis: Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Editor: Nia Duniawati Desain Cover: Nurul Musyafak Layouter: Fitri Diterbitkan oleh Penerbit Adab CV. Adanu Abimata Anggota IKAPI: 354/JBA/2020 Jl. Kristal Blok H2 Pabean Udik Indramayu Jawa Barat Kode Pos 45219 Telp: 081221151025 Surel: [email protected] Web: https://Penerbitadab.id Referensi | Non Fiksi | R/D viii + 152 hlm.; 15,5 x 23 cm No. ISBN: 978-623-497-513-0 Cetakan Pertama, Maret 2023 Hak Cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini dalam bentuk apapun, secara elektronis maupun mekanis termasuk fotokopi, merekam, atau dengan teknik perekaman lainya tanpa izin tertulis dari penerbit. All right reserved PRAKATA A lhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, sholawat serta salam tak lupa pula penulis haturkan kepada junjungan Nabi besar Muhammad Saw, sehingga penyusun dapat menyelesaikan pembuatan buku ini yang berjudul “Sosiologi Pendidikan”, buku ini hadir kehadapan para pembaca merupakan sumbangan pemikiran penulis untuk bidang sosiologi pendidikan. Buku ini terdiri dari beberapa BAB yaitu; Bab I Konsep Dasar Sosiologi Pendidikan, Bab II Sejarah Perkembangan Sosiologi Pen- didikan, Bab III Pentingnya Mempelajari Sosiologi Pendidikan, Bab IV Pendidikan dan Masyarakat, Bab V Pendidikan dan Stratifikasi Sosial, Bab VI Perubahan Sosial dan Pendidikan, Bab VII Masyarakat dan Kebudayaan Sekolah, Bab VIII Struktur Sosial Sekolah, Bab IX Kedudukan Guru di Sekolah, Bab X Peranan Guru dan Kelakuan Murid, Bab XI Sosialisasi dan Penyesuaian Diri di Sekolah. Keberhasilan penulis menyelesaikan buku ini berkat banyak pihak yang telah membantu dalam kesempatan ini penulis ucapkan terimakasih kepada bapak Rektor UIN Datokarama Palu Prof. Dr. H. Sagaf S. Pettalongi, M. Pd, Bapak Dekan FTIK Dr. H. Askar, M.Pd, kedua orangtua penulis, suami beserta anak tercinta. iii Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Penulis sadar bahwa dalam penyusunan buku ini masih terdapat banyak kekeliruan dan kekurangan, namun penulis meyakini bahwa dengan hadimya buku ini mampu memudahkan mahasiswa dalam mempelajari dan memahami materi-materi yang berkaitan dengan Sosiologi Pendidikan. Penulis iv KATA SAMBUTAN alam rangka memenuhi kebutuhan buku sebagai bahan bacaan dan referensi bagi peneliti-peneliti yang sesuai dengan disiplin ilmu. Atas dasar tersebut, kami menghargai dan memberikan apresiasi D atas penyusunan buku “Sosiologi Pendidikan” dengan harapan dapat menambah khazanah pembelajaran dan dapat menjadi literatur dan referensi pada Perpustakaan UIN Datokarama Palu. Kepada penyusun buku dan pihak pihak yang terlibat di dalamnya baik langsung maupun tidak langsung diucapkan terima kasih, semoga jerih payah dan pengorbanan yang diberikan mendapat balasan yang setimpal dari Allah Swt. Amin. Palu, 24 Februari 2023 Rektor UIN Datokarama Palu Prof. Dr. H. Sagaf S. Pettalongi, M.Pd. NIP: 196705011991031005 v DAFTAR ISI PRAKATA............................................................................................... KATA SAMBUTAN.................................................................................. DAFTAR ISI............................................................................................ iii v vii BAB I KONSEP DASAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN............................ Pengertian Sosiologi Pendidikan.......................................... BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN.......... A.. Ibnu Khaldun (1332-1406).............................................. B.. Lester Frank Ward (1841-1913)...................................... C.. John Dewey (1859-1952)................................................ D.. Emile Durkheim (1858-1917).......................................... E.. Karl Mannheim (1893-1947)........................................... F.. George Payne.................................................................. BAB III PENTINGNYA MEMPELAJARI SOSIOLOGI PENDIDIKAN........ BAB IV PENDIDIKAN DAN MASYARAKAT............................................ A.. Individu dan Masyarakat................................................ B.. Pendidikan dan Lingkungan Sosial............................... C.. Fungsi Sekolah bagi Masyarakat.................................... BAB V PENDIDIKAN DAN STRATIFIKASI SOSIAL............................... BAB VI PERUBAHAN SOSIAL DAN PENDIDIKAN................................ BAB VII MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN SEKOLAH.......................... 1 2 13 15 24 26 30 33 34 41 45 46 50 52 57 63 75 vii BAB VIII STRUKTUR SOSIAL SEKOLAH................................................ A.. Pengertian Struktur Sosial Sekolah............................... B.. Kedudukan dan Peranan dalam Struktur Sosial 85 86 .Sekolah........................................................................... 87 BAB IX KEDUDUKAN GURU DI SEKOLAH........................................... 93 A.. Pengertian Guru............................................................. 94 B.. Kedudukan Guru di Sekolah.......................................... 94 C.. Kedudukan/Peranan Guru Di Masyarakat..................... 100 BAB X PERANAN GURU DAN KELAKUAN MURID.............................. 105 A.. Pengertian dan Macam-Macam Peran Guru................. 106 B.. Jenis-Jenis Hubungan Guru-Murid................................ 109 C.. Reaksi Murid Terhadap Peranan Guru........................... 110 D.. Hubungan Antara Hasil Belajar Murid dengan . Kelakuan Guru................................................................ 111 E.. Kelakuan Murid Berhubungan Dengan Kelakuan Guru 111 F.. Peranan Guru Dalam Masyarakat dan Respons Murid.. 114 G.. Peranan Guru Lainnya di Sekolah dan Respons . Peserta Didik................................................................... 114 BAB XI SOSIALISASI DAN PENYESUAIAN DIRI DI SEKOLAH.............. 115 A.. Pengaruh Iklim Sosial Terhadap Sosialisasi Anak........ 116 B.. Persaingan dan Kerjasama............................................ 124 C.. Membudayakan Kepemimpinan Etnopedagogi .Sekolah........................................................................... 129 DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 139 DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS ...................................................... 150 viii BAB I KONSEP DASAR SOSIOLOGI PENDIDIKAN 1 B agian ini akan membahas tentang konsep dasar sosiologi pendidikan. Pengertian Sosiologi Pendidikan Sosiologi pendidikan dapat didefinisikan sebagai studi tentang interaksi sosial yang terjadi dalam konteks pendidikan, baik di dalam maupun di luar kelas. Disiplin ilmu ini mempelajari berbagai aspek yang terkait dengan pendidikan, seperti pembelajaran, pengajaran, kurikulum, pola interaksi antara peserta didik dan pendidik, peran lembaga pendidikan dalam masyarakat, serta masalah-masalah sosial yang timbul dalam dunia pendidikan. Sejarah kemunculan sosiologi pendidikan dapat dilacak kembali ke awal abad ke-20, ketika para ahli sosiologi mulai memperhatikan peran pendidikan dalam membentuk masyarakat. Beberapa tokoh seperti Emile Durkheim, Max Weber, dan Karl Marx mengembangkan teori-teori yang membahas peran pendidikan dalam membentuk nilai-nilai, norma, dan struktur sosial dalam masyarakat. Pada perkembangannya, sosiologi pendidikan terus mengalami perkembangan dan perluasan wilayah kajian. Seiring dengan peru- bahan sosial yang terjadi, sosiologi pendidikan mulai memperhatikan masalah-masalah seperti ketimpangan pendidikan, aksesibilitas pendidikan, peran teknologi dalam pendidikan, serta masalah- masalah yang berkaitan dengan multikulturalisme dan diversitas dalam konteks pendidikan. Sosiologi pendidikan juga menggunakan berbagai pendekatan dan metodologi untuk mempelajari fenomena-fenomena sosial dalam dunia pendidikan, seperti pendekatan struktural-fungsional, konflik, interaksionis, serta pendekatan kritis. Selain itu, sosiologi pendidikan juga menggunakan berbagai teknik dan metode penelitian, seperti survei, wawancara, observasi, serta analisis data kuantitatif dan kualitatif. 2 Sosiologi Pendidikan Sosiologi pendidikan memiliki peran penting dalam memahami berbagai masalah dan tantangan dalam dunia pendidikan. Melalui studi dan analisis yang dilakukan, sosiologi pendidikan dapat mem- berikan kontribusi dalam merancang kebijakan pendidikan yang lebih efektif, serta membantu meningkatkan kualitas pendidikan dalam masyarakat. Pernyataan ini benar bahwa sosiologi dan pendidikan dianggap sebagai pengetahuan kuno yang ada sejak awal mula adanya manusia. Interaksi sosial dan hubungan antar manusia telah menjadi fokus perhatian manusia sejak lama. Namun, sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang tersistematisasi dan bermetode baru diakui sejak abad ke-19 melalui Auguste Comte. Auguste Comte dianggap sebagai Bapak pendiri sosiologi karena ia mengembangkan sistem filosofis yang disebut sebagai positivisme.1 Ia percaya bahwa pengetahuan harus didasarkan pada pengamatan yang sistematis dan berdasarkan fakta empiris. Comte juga menekankan pentingnya metode ilmiah dalam pengembangan pengetahuan, dan ia memandang sosiologi sebagai disiplin ilmu yang dapat diterapkan dengan metode ilmiah untuk mempelajari masyarakat dan interaksi sosial. Dalam hal pendidikan, pendidikan informal seperti yang terjadi dalam keluarga, komunitas, dan lingkungan sekitar juga telah ada sejak awal mula manusia. Namun, pendidikan formal, seperti sistem pendidikan formal dengan kurikulum dan program yang terstruktur, baru muncul pada zaman kuno di Yunani Kuno dan Romawi Kuno. Pendidikan modern yang serupa dengan sistem pendidikan saat ini baru muncul pada abad ke-18 dan ke-19, di mana beberapa negara seperti Inggris, Prancis, dan Jerman memperkenalkan sistem pendi- dikan modern yang lebih terstruktur dan merata. 1 Lalu Muhammad Syamsul Arifin, “Interaktif: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial” Filsafat Positivisme Aguste Comte Dan Relevansinya Dengan Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 12. No. 2 (2020), 133. https:// interaktif.ub.ac.id/index.php/interaktif/article/view/238 (diakses 10 Februari 2023). Pendidikan dalam arti luas telah ada sejak zaman Nabi Adam. Dalam Islam, aktivitas pendidikan ditekankan sebagai bagian dari perintah Allah untuk mengenal dan memahami kebesaran-Nya serta memperoleh pengetahuan yang bermanfaat untuk kehidupan di dunia dan akhirat. Dalam surat Al-Baqarah ayat 31, Terjemahnya: “Dan Dia ajarkan kepada Adam nama-nama (benda) semuanya kemudian Dia perlihatkan kepada para Malaikat seraya berfirman, ‘sebutkan kepada-Ku nama semua (benda) ini, jika kamu yang benar!”. Allah mengajarkan kepada Adam untuk mengenal nama-nama benda di sekitarnya. Hal ini dapat dijadikan contoh bahwa pendidikan dalam Islam tidak hanya terbatas pada bidang akademik, tetapi juga mencakup aspek spiritual dan sosial. Selain itu, dalam sejarah Islam, terdapat banyak tokoh-tokoh yang berperan penting dalam pengembangan pendidikan, seperti Imam al-Ghazali, Ibn Sina, dan Ibnu Khaldun. Mereka adalah contoh nyata bagaimana pendidikan dalam Islam dijadikan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas hidup dan membantu umat Islam mencapai keberhasilan di dunia dan akhirat. Oleh karena itu, pendidikan dalam Islam bukan hanya sekedar aktivitas belajar mengajar di sekolah atau institusi pendidikan lainnya, tetapi juga mencakup aspek spiritual, moral, dan sosial yang sangat penting bagi kehidupan manusia secara keseluruhan. Tetapi sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri, ilmu pendidikan baru diakui pada abad 19, ketika para ahli berhasil merumuskan obyek, metode, dan sistemnya. Mempelajari sebuah ilmu sebaiknya dimulai dari definisinya. Mengetahui definisi akan memudahkan untuk dimengerti dan memahami isinya. Begitu juga dalam mempelajari sosiologi pendidikan haruskan mengetahui apa definisi sosiologi pendidikan itu? Istilah sosiologi pendidikan meru- pakan kata majemuk yang berasal dari dua kata; sosiologi dan pendi- dikan. Untuk menjawab pertanyaan ini secara terperinci, lebih baik ditinjau dari perspektif etimologis dan terminologis. Secara etimologis (asal-usul kata), “sosiologi pendidikan” berasal dari kata ‘sosiologi’ dan ‘pendidikan.’ ‘Sosilogi’ berasal dari bahasa Latin dan Yunani, yakni kata ‘socius’ dan ‘logos’. ‘Socius’ (Yunani) yang berarti ‘kawan’, ‘berkawan’, ataupun ‘bermasyarakat’, sedangkan ‘logos’ berarti ‘ilmu’ atau bisa juga ‘berbicara tentang sesuatu’.2 Dengan demikian secara harfiah istilah “sosiologi” dapat diartikan ilmu tentang masyarakat. Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan antara manusia dalam kelompok-kelompok dan struktur sosialnya. Sosiologi adalah ilmu sosial yang mempelajari perilaku manusia dalam masyarakat. Terdapat beragam definisi sosiologi yang diberikan oleh para ahli. Salah satu definisi yang diberikan oleh Max Weber adalah bahwa sosiologi merupakan studi tentang tindakan sosial dan hubungan sosial di antara manusia. Weber menekankan pentingnya pemahaman interpretatif dalam memahami tindakan sosial dan hubungan sosial yang terjadi di masyarakat. Sosiologi juga didefinisikan sebagai ilmu yang berusaha untuk menafsirkan dan memahami tindakan sosial serta hubungan sosial agar dapat mencapai penjelasan kausal.3 Definisi ini mengacu pada upaya sosiologi untuk menjelaskan mengapa perilaku sosial tertentu terjadi, apa faktor-faktor yang mem- pengaruhinya, dan bagaimana perilaku sosial tersebut berdampak pada masyarakat. Namun, terlepas dari perbedaan definisi, sosiologi secara umum mempelajari bagaimana manusia berinteraksi satu sama 2 I Gede Sedana Suci dkk, Pengantar Sosilogi Pendidikan, (Pasuruan: CV. Penerbit Qiara Media, 2020), 6 3 Bernard Raho, Teori Sosiologi Modern, (Maumere: Ledalero, 2021), 25. lain dalam masyarakat, serta bagaimana masyarakat mempengaruhi perilaku dan pandangan hidup individu. Disiplin ini juga mempelajari bagaimana perbedaan sosial seperti gender, kelas, ras, dan etnis me- mengaruhi interaksi sosial dan pengalaman hidup manusia. Pitirim A. Sorokin adalah seorang sosiolog terkenal yang menga- takan bahwa sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara berbagai macam gejala sosial, seperti hubungan antara gejala ekonomi dan agama, keluarga dan moral, hukum dan ekonomi, serta gerakan masyarakat dan politik. Selain itu, sosiologi juga mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dan gejala non-sosial, seperti gejala geografis dan biologis. Sorokin menganggap bahwa sosiologi harus memahami dan mengkaji kompleksitas hubungan sosial dalam masyarakat agar dapat memberikan pemahaman yang lebih dalam dan komprehensif tentang kehidupan sosial manusia.4 Dari berbagai definisi yang dikemukan oleh para ahli dapatlah dipahami bahwa sosiologi adalah ilmu tentang masyarakat atau cabang ilmu sosial yang mempelajari secara sistematik kehidupan bersama manusia yang ditinjau dan diamati dengan menggunakan metode empiris yang di dalamnya terkandung studi tentang kelompok- kelompok manusia, tatanan sosial, perubahan sosial, sebab-sebab sosial, dan segala fenomena sosial yang mempengaruhi perilaku manusia. 5 Jadi sosiologi dapat dipahami sebagai ilmu yang mempelajari bagaimana manusia itu berhubungan satu dengan yang lain dalam kelompoknya dan bagaimana susunan unit-unit masyarakat atau so- sial di suatu wilayah serta kaitannya satu dengan yang lain. Sementara istilah pendidikan, secara etimologis mempunyai padanan kata education dalam bahasa Inggris, dan al-tarbiyah, 4 Akbar Yuli Setianto, dkk, Sosiologi Pendidikan, (Medan: Yayasan Kita Menulis, 2021), 3. 5 Agung Prihatmojo, dkk, Pengantar Landasan Pendidikan, (Medan: Yayasan Kita Menulis, 2022), 80. alta’lîm, al-ta’dîb, dan al-riyādah, dalam bahasa Arab. Walau setiap term tersebut mempunyai makna yang berbeda, karena perbedaan teks dan konteks kalimatnya, namun dalam beberapa hal, term-term tersebut mempunyai kesamaan makna. Dalam definisi ini diambil sisi kesamaannya. Pengertian ‘pendidikan’, secara sederhana, adalah pro- ses pengubahan sikap dan perilaku seseorang atau kelompok dalam usaha mendewasakan manusia melalui pengajaran dan pelatihan.6 Secara terminologis, menurut Muhammad Athiyah al-Abrasyi, mendefinisikan pendidikan (tarbiyah) sebagai upaya mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna, kebahagiaan hidup, cinta tanah air, kekuatan raga, kesempurnaan etika, sistematik dalam berpikir tajam, berperasaan, giat dalam berkreasi, toleransi pada yang lain, berkompetensi dalam mengungkapkan bahasa tulis dan Bahasa lisan dan terampil berkreativitas. 7 Pernyataan tersebut mengindikasikan bahwa Azyumardi Azra memandang pendidikan sebagai suatu proses yang bertujuan untuk mempersiapkan generasi muda agar dapat menjalani kehidupan dengan lebih efektif dan efisien.8 Dalam pandangan Azra, pendidikan memiliki peran penting dalam membantu individu mencapai tujuan hidupnya. Secara lebih spesifik, pendidikan dianggap sebagai suatu upaya untuk membekali individu dengan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk menjalani kehidupan secara mandiri dan produktif. Melalui pendidikan, generasi muda diharapkan dapat mengembangkan kemampuan diri dan memanfaatkan potensi yang dimilikinya untuk mencapai kesuksesan dalam berbagai aspek kehidupan, seperti karir, keluarga, dan masyarakat. 6 Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Prenada, 2019), 8. 7 Heri Kurnia, dkk, Sosiologi Pendidikan, (Malang: CV. Literasi Nusantara Abadi, 2021), 5. 8 Mahyuddin Barni, “Jurnal Transformatif” Tantangan Pendidik di Era Millennial, Vol.. 3No. 1 (April 2019), 100. https://e-journal.iain-palangkaraya.ac.id/index.php/TF/article/view/1251 (diakses 10 Februari 2023) Pendapat Azra ini sejalan dengan pandangan umum bahwa pendi- dikan merupakan suatu investasi jangka panjang yang memberikan manfaat bagi individu dan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, penting bagi negara dan masyarakat untuk memberikan dukungan dan perhatian yang cukup terhadap sektor pendidikan, agar generasi muda dapat memperoleh pendidikan yang berkualitas dan memadai. Pendidikan dapat dipahami sebagai usaha manusia yang optimistik dan mendasar yang bertujuan untuk kemajuan dan kese- jahteraan manusia. Pendidikan juga dapat diartikan sebagai proses pembelajaran yang berlangsung di berbagai tempat, baik formal maupun informal, yang bertujuan untuk membantu seseorang untuk mengembangkan potensi dan kemampuan mereka secara optimal. Selain itu, pendidikan juga dianggap sebagai tempat di mana anak-anak dapat berkembang sesuai dengan kebutuhan dan potensi unik mereka. Melalui pendidikan, individu dapat memperoleh pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang dibutuhkan untuk membangun karir dan mencapai tujuan hidup mereka. Selain itu, pendidikan juga dianggap sebagai salah satu cara terbaik untuk mencapai kesetaraan sosial yang lebih tinggi.9 Melalui pendidikan yang merata dan adil, individu dari ber- bagai latar belakang dapat memiliki kesempatan yang sama untuk berkembang dan berhasil dalam hidup. Secara keseluruhan, pendi- dikan adalah sebuah upaya manusia yang penting dan optimistik untuk meningkatkan kualitas hidup dan mencapai kemajuan dan kesejahteraan individu dan masyarakat secara keseluruhan. Banyak orang mengatakan bahwa tujuan pendidikan adalah mengem- bangkan setiap orang hingga potensi tertinggi mereka dan memberi kesempatan untuk mencapai segalanya dalam kehidupan sesuai kemampuan alami mereka. 9 Agung Prihatmojo, dkk, Pengantar Landasan Pendidikan, 80. Dari penjelasan tentang asal-usul kata sosiologi pendidikan di atas, kini saatnya memahami apa arti sebenarnya dari sosiologi pendi- dikan itu? Secara singkat, yang menjadi masalah sentral sosiologi pendidikan adalah aspek-aspek sosiologi dalam pendidikan. Sosiologi pendidikan adalah sosiologi yang digunakan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh pendidikan yang sangat funda- mental. Secara terminologis (istilah), menurut Zainuddin Maliki, sosiologi pendidikan adalah kajian tentang bagaimana institusi dan kekuatan sosial mempengaruhi proses dan hasil pendidikan, dan sebaliknya, bagaimana pendidikan mempengaruhi institusi dan kekuatan sosial. Dalam sosiologi pendidikan, perhatian diberikan pada hubungan antara individu dan masyarakat, serta bagaimana struktur sosial, norma, nilai, dan kekuatan sosial mempengaruhi pendidikan. Sosio- logi pendidikan juga mengeksplorasi peran institusi pendidikan dalam membentuk dan mempertahankan tatanan sosial yang ada. 10 Menurut definisi ini terdapat hubungan timbal-balik antara pendidikan dan perkembangan sosial. Pendidikan akan melahirkan perubahan sosial, begitu juga perubahan sosial mempengaruhi arah pendidikan, sehingga antara pendidikan dan perubahan sosial terdapat hubungan simbiosis-mutualisme. Menurut S. Nasution, sosiologi pendidikan adalah ilmu yang berusaha untuk mengetahui cara-cara mengendalikan proses pendidikan untuk mengembangkan kepribadian individu agar lebih baik.11 Definisi ini menginginkan pendidikan sebagai aktivitas sosial agar dapat mencetak generasi yang memiliki kepribadian, karakter, dan moral yang baik. Abdullah Idi yang dikutip Tutuk Ningsih mendefinisikan sosiologi pendidikan adalah ilmu yang mendeskripsikan dan menjelaskan 10 Andi Muhammad Asbar, “JATP” Menakar Eksistensi Homeschooling Sebagai Model Pendidikan Alternatif, Vol. 2 No. 2 (2022), 43. https://e-journal.lp2m.uinjambi.ac.id/ojp/index. php/jatp/article/view/1382 (diakases 10 Februari 2023). 11 Nuraedah, Sosiologi Pendidikan (dari Masyarakat Hingga Ketidaksetaraan Gender dalam Pendidikan), (Makassar: PT Nas Media Indonesia, 2022), 16. tentang lembaga-lembaga, kelompok-kelompok sosial, proses sosial, dimana terdapat suatu hubungan sosial (social relationship) yang dengan interaksi sosial itu individu memperoleh dan mengorgani- sasikan pengalamannya.12 Dari definisi ini dapat diambil pemahaman bahwa institusi pendi- dikan hendaknya dapat dijadikan sebagai wahana untuk memperoleh dan mengembangkan pengetahuan agar dapat dijadikan bekal dalam kehidupannya. Damsar mendefinisikan sosiologi pendidikan ke dalam dua pe- ngertian. Pertama, sosiologi pendidikan adalah suatu kajian yang mempelajari hubungan antara masyarakat, yang di dalamnya terjadiinteraksi sosial, dengan pendidikan. Dalam hubungan ini dapat dilihat bagaimana masyarakat mempengaruhi pendidikan. Juga sebaliknya, bagaimana pendidikan mempengaruhi masyarakat. Kedua, sosiologi pendidikan diartikan sebagai pendekatan sosiologis yang diterapkan pada fenomena pendidikan. Pendekatan sosiologis terdiri dari konsep, variabel, teori, dan metode yang digunakan dalam sosiologi untuk memahami kenyataan sosial, termasuk di dalamnya kompleksitas aktivitas yang berkaitan dengan pendidikan.13 Masih banyak lagi definisi yang dibuat oleh para ahli tentang sosiologi pendidikan. Dari beberapa definisi di atas, dapat diambil pahami bahwa sosiologi pendidikan adalah sosiologi yang membahas dan diterapkan dalam memecahkan segala problematika yang ada dalam pendidikan, terutama dalam interaksi sosial antara peserta didik dengan lingkungan, pendidik, dan sesamanya, begitu juga dalam melihat gejala-gejala sosial yang berkembang dalam system pendidikan, sehingga aspek-aspek sosiologi yang ada dapat dijadikan pijakan dalam merumuskan segala suatu yang berhubungan dengan pendidikan, guna tercapainya kemajuan dalam bidang pendidikan. 12 Tutuk Ningsih, Sosiologi Pendidikan, (Banyumas: CV Rizqunaa, 2020), 9. 13 Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan (Jakarta: Kencana, 2019), 9-11. Kajian sosiologi pendidikan menekankan implikasi dan akibat sosial dari pendidikan dan memandang masalah-masalah pendi- dikan dari sudut totalitas lingkup sosial kebudayaan, politik dan eko- nomisnya bagi masyarakat. Apabila psikologi pendidikan memandang gejala pendidikan dari konteks perilaku dan perkembangan pribadi, maka sosiologi pendidikan memandang gejala pendidikan sebagai bagian dari struktur sosial masyarakat. Catatan: BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN SOSIOLOGI PENDIDIKAN B agian ini membahas tentang sejarah perkembangan sosiologi pendidikan. Setiap kemunculan suatu ilmu pasti ada yang me- mulainya. Penelusuran sejarah asal-usul atau perkembangan ilmu atau cabangnya, penting dilakukan untuk mengetahui akar-akar pe- rmulaan lahirnya suatu ilmu. Bab ini akan mendiskusikan beberapa tokoh yang berjasa dalam meletakkan fondasi sosiologi pendidikan dan paradigma atau teori-teori yang dikembangkannya. Sejarah dan Tokoh Sosiologi Pendidikan Sebelum sosiologi menjadi sebuah disiplin ilmu yang terorganisir, para intelektual telah mengajukan berbagai pemikiran terkait masyarakat dan perilaku manusia. Pemikiran-pemikiran ini berkem- bang pada masa Pencerahan, yang berlangsung sekitar abad ke-18 di Eropa. Para pemikir Pencerahan ini menekankan pentingnya akal budi dan rasionalitas dalam memahami masyarakat dan perilaku manusia. Pemikiran-pemikiran ini bertentangan dengan pemikiran abad pertengahan yang bersifat skolastik dan dogmatis, di mana masya- rakat dan perilaku manusia dijelaskan dalam konteks kepercayaan agama. Para pemikir Pencerahan mengkritik pemikiran tersebut karena dianggap terlalu membatasi pemahaman manusia terhadap realitas sosial. Pemikiran Pencerahan berfokus pada pengembangan pengeta- huan dan ilmu pengetahuan, sehingga dapat diterapkan pada masalah sosial dan organisasi negara. Pemikiran ini memberikan landasan bagi disiplin ilmu seperti sosiologi, yang kemudian berkembang pada abad ke-19 dan ke-20. Dalam hal ini, para pemikir pencerahan dapat dianggap sebagai pendahulu sosiologi, karena mereka telah mengajukan berbagai pe- mikiran terkait masyarakat dan perilaku manusia, dan memberikan landasan bagi pengembangan disiplin ilmu sosial yang lebih sistematis dan terorganisir. A. Ibnu Khaldun (1332-1406) Ibn Khaldun, seorang sejarawan dan filsuf sosial Islam terkemuka asal Tunisia, memang dikenal sebagai tokoh yang banyak berkon- tribusi dalam bidang sejarah dunia dan sosial-budaya. Salah satu karyanya yang terkenal adalah al-Muqaddimah, yang merupakan sebuah risalah yang membahas tentang sejarah dunia dan teori sosial-budaya. Dalam karyanya, Ibn Khaldun mengemukakan teori tentang hubungan antara suku bangsa nomaden yang keras dan masyarakat- masyarakat halus bertipe menetap. Menurutnya, kehidupan nomaden lebih dahulu ada dibanding kehidupan kota, dan keduanya memiliki karakteristik yang berbeda. Ibn Khaldun menyatakan bahwa kehidupan nomaden cenderung lebih keras dan individualistis, karena suku bangsa nomaden harus mengandalkan kemampuan individu untuk bertahan hidup di lingkungan yang keras dan tak menentu. Sementara itu, masyarakat kota cenderung lebih halus dan kolektif, karena kehidupan kota memungkinkan masyarakat untuk hidup dalam kelompok yang lebih besar dan saling bergantung satu sama lain. Namun, Ibn Khaldun juga menyatakan bahwa hubungan antara suku bangsa nomaden dan masyarakat kota tidak selalu bersifat kontras. Ia menekankan bahwa suku bangsa nomaden seringkali berperan sebagai penjaga dan pemelihara keamanan di sekitar kota-kota, sementara masyarakat kota dapat memberikan dukungan ekonomi dan sosial kepada suku bangsa nomaden. Dalam kesimpulannya, Ibn Khaldun menyatakan bahwa karakte- ristik masyarakat manusia dipengaruhi oleh lingkungan dan kondisi sejarah yang memengaruhinya. Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya memahami konteks sejarah dan sosial-budaya dalam memahami karakteristik masyarakat manusia. Menurut pengamatannya politik tidak akan timbul kecuali dengan penaklukan, dan penaklukan tidak akan terealisasi kecuali dengan solidaritas. Lebih jauh lagi ia mengemukakan bahwa kelompok yang terkalahkan selalu senang mengekor ke kelompok yang menang, baik dalam slogan, pakaian, kendaraan, dan tradisinya. Selain itu salah satu watak seorang raja adalah sikapnya yang menggemari kemewahan, kesenangan, dan kedamaian. Apabila hal-hal ini semuanya mewarnai sebuah negara maka negara itu akan masuk dalam masa senja. Dengan demikian kebudayaan itu adalah tujuan masyarakat manusia dan akhir usia senja. 14 Teori sosial Khaldun terkenal dengan “siklus peradaban”. Menurut Khaldun, setiap peradaban berkembang melalui empat fase, yaitu: fase primitif atau nomaden, fase urbanisasi, fase kemewahan, dan fase kemunduran yang mengantarkan kehancuran. Kemudian keempat perkembangan ini oleh Khaldun sering disebut dengan fase; perintis, pembangun, penikmat, dan penghancur. 15 Sosiologi memang awalnya merupakan bagian tak terpisahkan dari filsafat, karena sosiologi berfokus pada pemahaman terhadap masyarakat dan perilaku manusia secara kolektif. Namun, seiring waktu, disiplin sosiologi memisahkan diri dari filsafat dan berkembang menjadi sebuah disiplin ilmu yang mandiri dan memiliki metode penelitian serta pendekatan yang khusus dalam mempelajari ma- syarakat. Salah satu faktor yang mempengaruhi pemisahan sosiologi dari filsafat adalah adanya perubahan sosial dan ekonomi yang terjadi pada masa Revolusi Industri di Eropa pada abad ke-18. Perubahan tersebut memunculkan berbagai masalah sosial yang membutuhkan pemahaman yang lebih mendalam, sehingga mendorong para pe- mikir untuk mengembangkan metode ilmiah yang dapat digunakan dalam mempelajari masyarakat. 14 Ibnu Khaldun, Al-Muqqadimah (Kairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al-Kubra, 1284 H), 168. 15 Ibid., 137. Sejak saat itu, sosiologi berkembang dengan pesat sebagai sebuah disiplin ilmu sosial yang mempelajari masyarakat dan perilaku manusia secara ilmiah, dengan menggunakan metode penelitian yang lebih sistematis dan terstruktur. Meskipun sosiologi telah memisahkan diri dari filsafat, namun kedua disiplin ilmu tersebut tetap saling berkaitan dan terkait satu sama lain dalam memahami fenomena sosial dan perilaku manusia. Lahirnya sosiologi sebagai ilmu sosial tidak lepas dari peran seorang tokoh brilian, yakni Auguste Comte (1798-1857). Ia adalahorang pertama yang mencetuskan nama sosiologi dalam bukunya Course de Phillosophie Positive, yang terbit pada 1838.16 Dalam buku ini Comte secara kreatif menyusun sintesa berbagai macam aliran pemikiran, kemudian mengusulkan untuk mendirikan ilmu tentang masyarakat dengan dasar filsafat empiris yang kuat. Ilmu tentang masyarakat itu pada awalnya Comte menamainya dengan “social physics” (fisika sosial), kemudian dirubahnya sendiri dengan “sociology”. Singkatnya dalam buku itu, Comte menyatakan tentang hukum perkembangan masyarakat melalui tiga tahap utama. Tahap-tahap ini ditentukan menurut cara berpikir yang dominan, terbagi dalam tiga tahap, yaitu: 1) tahap teologis, tingkat pemikiran manusia, bahwa semua benda di dunia ini mempunyai jiwa dan disebabkan oleh sesuatu ke- kuatan yang berada di atas manusia, tahap supranatural, atau tahap agama; 2) tahap metafisik, manusia dalam tahap ini masih percaya bahwa gejala-gejala di dunia ini disebabkan oleh kekuatan-kekuatan yang berada di atas manusia. Manusia belum berusaha mencari sebab dan akibat gejala tersebut; dan 16 Heri Kurnia, dkk, Sosiologi Pendidikan 44. 3) tahap positif, tahap manusia yang sudah mampu berpikir secara ilmiah. Dalam tahap ini manusia mulai mengembangkan ilmu pengetahuan.17 Istilah sosiologi berasal dari kata “socious” dan “logos”. Socious berasal dari bahasa Latin yang artinya “teman”, sedangkan logos berasal dari bahasa Yunani yang artinya “kata” atau “berbicara”. Jadi sosiologi adalah ilmu yang berbicara tentang masyarakat. Bagi Comte, sosiologi adalah ilmu tentang kemasyarakatan yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat, dan menyelidiki ikatan-ikatan antarmanusia yang menguasai kehidupan.18 Istilah sosiologi menjadi lebih populer setengah abad kemudian berkat jasa Herbert Spencer (1820-1830)—ilmuwan Inggris yang menulis buku berjudul Principles of Sociology (1876). Ia mengemukakan bahwa kunci memahami gejala sosial atau gejala alamiah itu adalah hukum evolusi universal. Gejala fisik, biologis, dan sosial itu semuanya tunduk pada hukum dasar tersebut. Kemudian prinsip-prinsip evoulusi tersebut juga diperluas dari tingkat biologis ke sosial sehingga semboyan survival of the fittest dalam Darwinisme Sosial itu-pun sebenarnya dari Spencer. Spencer menerapkan teori evolusi organik pada masyarakat manusia dan mengembangkan teori besar tentang evolusi sosial yang diterima secara luas beberapa puluh tahun kemudian. Proses kelahiran sosiologi dilatarbelakangi oleh serangkaian perubahan dan krisis yang terjadi di Eropa Barat. Pada akhir abad 15 dan permulaan abad 16 di Eropa Barat telah terjadi renaissance (kebangkitan kembali) yang ditandai dengan mulai tumbuhnya kapitalisme, perubahan-perubahan di bidang sosial-politik, peru- bahan berkenaan dengan reformasi Martin Luther, meningkatnya 17 Yesmil Anwar dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum. (Jakarta: Grasindo, 2008),23. 18 Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan: Individu, Masyarakat, dan Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Press, 2011), 6-7. individualisme, lahirnya ilmu pengetahuan modern, berkembangnya kepercayaan pada diri sendiri, dan revolusi industri pada abad ke-18, serta terjadinya Revolusi Perancis.19 Revolusi industri dan Revolusi Perancis mendorong perubahan sosial yang sangat cepat. Perubahan sosial yang cepat menimbulkan cultural lag (kesenjangan kultural). Cultural lag menjadi penyebab munculnya masalah-masalah sosial yang dialami dunia pendidikan. Para ahli sosiologi menyumbangkan pemikirannya untuk meme- cahkan masalah itu, hinggal lahirlah sosiologi pendidikan. Perubahan sosial yang cepat meliputi berbagai bidang kehidupan dan merupakan masalah institute social seperti: industri, agama, perekonomian, pemerintahan, keluarga, perkumpulan, dan pendidikan.20 Sosiologi memang banyak dipengaruhi oleh filsafat sosial sejak awal kelahirannya. Namun, sosiologi memiliki pandangan yang berbeda dengan filsafat sosial dalam beberapa aspek. Filsafat sosial cenderung lebih dipengaruhi oleh ilmu alam dan memandang masyarakat sebagai “mekanisme” yang dikuasai oleh hukum-hukum mekanis. Pendekatan ini cenderung mengabaikan peran individu dalam membentuk masyarakat dan memperlakukan manusia sebagai makhluk yang sama dengan benda mati dalam ilmu alam. Sosiologi, di sisi lain, menempatkan individu dalam masyarakat sebagai entitas yang relatif bebas. Sosiologi memandang bahwa masyarakat adalah hasil interaksi individu dan struktur sosial, dan bahwa individu mempunyai pengaruh dalam membentuk masyarakat. Dalam pandangan sosiologi, masyarakat tidak selalu terikat pada aturan yang sama dan tidak selalu menunjukkan perilaku yang sama. Pendekatan filsafat sosial juga cenderung melihat masyarakat sebagai suatu entitas yang abadi dan tidak berubah. Sosiologi, di sisi lain, mengakui bahwa masyarakat selalu berubah seiring waktu dan 19 J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, (Jakarta: Prenada Media, 2004), 5. 20 Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan: Individu, Masyarakat, dan Pendidikan, 6-7. sejarah, dan bahwa kehidupan sosial tidak selalu mengikuti aturan yang sama di seluruh tempat dan waktu. Beberapa filsuf sosial klasik seperti Plato dan Aristoteles memang memiliki keyakinan bahwa seluruh tertib dan keteraturan yang adi- manusiawi, abadi, tidak berubah, dan ahistoris. Namun, sosiologi mengakui bahwa masyarakat selalu berubah dan tidak selalu dapat dianalisis secara statis, tetapi harus dipahami dalam konteks sejarah dan dinamis. Sementara sosiolog justru mempertanyakan keyakinan lama dari para filsuf itu, dan sebagai gantinya muncullah keyakinan baru yang dipandang lebih mencerminkan realitas sosial yang sebenarnya. Para ahli sosiologi telah menyadari bahwa bentuk kehidupan bersama adalah ciptaan manusia itu sendiri. Bentuk-bentuk masyarakat, gejala pelapisan sosial, dan pola-pola interaksi yang berbeda, sekarang lebih dilihat sebagai hasil inisiatif atau hasil kesepakatan manusia itu sendiri.21 Perkembangan sosiologi semakin mantap berkat Emile Durkheim melalui bukunya Rules of Sociological Method, yang terbit pada tahun 1895. Dalam buku yang melambungkan namanya itu, Durkheim meng- uraikan tentang pentingnya metodologi ilmiah di dalam sosiologi untuk meneliti fakta sosial. Durkheim saat ini diakui banyak pihak sebagai “Bapak Metodologi Sosiologi”22 Menurut Durkheim, tugas sosiologi adalah mempelajari apa yang ia sebut sebagai fakta-fakta sosial, yakni sebuah kekuatan dan struktur yang bersifat eksternal, tetapi mampu mempengaruhi perilaku individu. Dengan kata lain, fakta sosial merupakan cara-cara bertindak, berpikir, dan berperasaan, yang berada di luar individu, dan mempunyai kekuatan memaksa yang mengendalikannya. Yang 21 J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, 5-6. 22 Ibid., 6. dimaksud fakta sosial di sini tidak hanya bersifat material, tetapi juga non-material, seperti kultur, agama, dan insitusi sosial.23 Karakteristik fakta sosial menurut Émile Durkheim, seorang sosiolog Prancis yang terkenal. Durkheim menganggap fakta sosial sebagai kenyataan sosial yang memiliki keberadaan independen dari individu dan dapat mempengaruhi perilaku manusia. Durkheim menyatakan bahwa fakta sosial bukan hanya hasil dari keinginan atau tindakan individu, tetapi berasal dari kekuatan yang lebih besar, yaitu masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Fakta sosial dapat dipahami melalui pengamatan dan analisis objektif, dan bukan hanya berdasarkan persepsi subjektif individu. Karakteristik pertama fakta sosial, yaitu bersifat eksternal terhadap individu, mengacu pada fakta bahwa fakta sosial ada di luar kesadaran individu dan dapat ditemukan dalam berbagai aspek kehidupan sosial, seperti norma, nilai, dan lembaga. Individu mempelajari fakta sosial ini melalui interaksi dengan lingkungan sosialnya. Karakteristik kedua, yaitu fakta sosial “memaksa” kepada individu, merujuk pada kekuatan yang dimiliki oleh fakta sosial untuk mempe- ngaruhi dan mengarahkan perilaku manusia. Meskipun fakta sosial tidak selalu negatif, individu merasa terpaksa untuk mengikuti norma dan aturan yang telah ada di masyarakat. Karakteristik ketiga, yaitu fakta sosial bersifat universal, menunjuk- kan bahwa fakta sosial adalah kenyataan sosial yang berlaku secara luas dan memiliki kekuatan kolektif. Fakta sosial ini bukanlah hasil dari tindakan individu perorangan, tetapi merupakan hasil dari interaksi dan kesepakatan kolektif dalam masyarakat. Dalam pandangan Durkheim, memahami fakta sosial adalah penting untuk memahami bagaimana masyarakat berfungsi dan berkembang. Ia juga menekankan pentingnya menjaga dan memper- 23 Arifuddin M Arif, “Moderasi Jurnal Studi Ilmu Pengetahuan Sosial” Perspektif Teori Sosial Emile Durkheim Dalam Sosiologi Pendidikan, Vol. 1, No. 2 (2020), 2 http://moderasi.org/index. php/moderasi/article/view/28 (diakses 10 Februari 2023). tahankan fakta sosial yang positif untuk memastikan kestabilan dan kesinambungan masyarakat. Dalam buku yang lain, Division of Labour in Society, Durkheim memusatkan konsep “solidaritas sosial” sebagai sebuah karya yang membawahi semua karya utamanya. Singkatnya, ”solidaritas sosial” menunjuk pada suatu keadaan hubungan antara individu dengan kelompok yang didasarkan pada perasaan moral serta kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Dalam hal ini Durkheim menganalisis pengaruh atau fungsi kom- pleksitas dan spesialisasi pembagian kerja dalam struktur sosial dan perubahan-perubahan yang diakibatkannya dalam bentuk-bentuk pokok solidaritas sosial. Dalam arti bahwa pertumbuhan dalam pembagian kerja meningkatkan suatu perubahan dalam struktur sosial dari solidaritas sosial mekanik ke solidaritas sosial organik.24 Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu “kesadaran kolektif” bersama (collective consciousness/conscience) yang menunjuk pada totalitas kepercayaan-kepercayaan dan sentimensentimen bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama tersebut. Sedangkan dalam solidaritas organik, terdapat saling ketergantungan yang tinggi dan hal itu muncul karena pembagian kerja yang ber- tambah besar sehingga terbentuk spesialisasispesialisasi dalam pembagian pekerjaan. Karaktersitik dalam munculnya solidaritas organik tersebut ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan (restrictive) daripada bersifat represif. 25 Tokoh pendiri sosiologi lainnya adalah Max Weber yang memiliki pendekatan berbeda dengan Durkheim. Weber menekankan pen- tingnya memahami perilaku sosial dan pengertian makna di balik tindakan sosial, bukan hanya memfokuskan pada pengukuran 24 Wahyu MS, Sosiologi: Tokoh, Teori dan Berbagai Pemikiran, (Banjarmasin: Tahura Media, 2020), 39. 25 Ibid, 40. kuantitatif. Menurut Weber, sosiologi harus berupaya untuk mema- hami tindakan sosial dan hubungan sosial secara mendalam dan kompleks, serta mampu menjelaskan hubungan sebab-akibat di antara mereka. Weber juga memperkenalkan konsep Verstehen, yang merupakan interpretasi pemahaman tentang tindakan sosial dan makna di baliknya. Dalam konsep Verstehen, Weber menekankan bahwa untuk memahami tindakan sosial, sosiolog harus memasuki pandangan dunia atau perspektif subjek, sehingga dapat memahami makna yang dihubungkan dengan tindakan sosial tersebut. Dalam karya-karyanya, Weber juga memfokuskan perhatiannya pada hubungan antara agama dan kapitalisme, serta mengembangkan teori tentang tipe-tipe ideal dari tindakan sosial, seperti tindakan rasional, tindakan tradisional, dan tindakan afektif. Kontribusinya da- lam pengembangan sosiologi telah memberikan pemahaman yang mendalam tentang tindakan sosial, makna, dan hubungan sosial, yang menjadi dasar penting dalam studi sosiologi.26 Perkembangan sosiologi pada abad 20 dan tahun 2000-an mengalami pergeseran fokus dari struktur ke agensi dan memperluas bidang kajian ke berbagai disiplin ilmu lain. Anthony Giddens adalah salah satu tokoh ilmu sosial kontemporer yang mempelopori perge- seran tersebut. Sosiologi terapan merupakan cabang sosiologi yang menerapkan pengetahuan dan metodologi sosiologi dalam memecahkan masalah praktis dalam masyarakat. Sosiologi perilaku kelompok mengkaji tentang cara-cara orang berperilaku dalam kelompok dan interaksi antar kelompok. Sosiologi budaya mempelajari berbagai aspek budaya, termasuk seni, bahasa, agama, dan tradisi. Sosiologi industri mengkaji hubungan antara manusia dan industri, termasuk masalah seperti produktivitas dan kesejahteraan pekerja. 26 Mustain Mashud, Sosiologi Pembangunan dan Teori Pendekatannya (Jakarta: Universitas Terbuka, 2010), 1.23. Sosiologi hukum mempelajari interaksi antara hukum dan masya- rakat, serta pengaruh hukum pada perilaku individu dan kelompok. Sosiologi agama mempelajari peran agama dalam masyarakat dan interaksi antara agama dan institusi sosial lainnya. Sosiologi politik mengkaji tentang hubungan antara kekuasaan politik dan masyarakat, serta interaksi antara individu dan kelompok dengan institusi politik. Sosiologi pendidikan mempelajari tentang interaksi antara individu dan institusi pendidikan serta pengaruh pendidikan pada masyarakat. Perkembangan sosiologi pada tahun 2000-an terus berkembang dan memperluas bidang kajian ke berbagai disiplin ilmu lainnya, se- perti sosiologi lingkungan, sosiologi kesehatan, sosiologi teknologi, dan lain-lain. Hal ini menunjukkan bahwa sosiologi sebagai ilmu sosial terus relevan dan penting dalam memahami dinamika sosial dan memberikan kontribusi bagi pembangunan dan kehidupan sehari-hari masyarakat. Sejarah perkembangan sosiologi pendidikan bermula dari sosiologi yang muncul pada abad 19.27 Berdasarkan sejarah lahir dan berkembangnya sosiologi pendidikan, ia merupakan disiplin ilmu yang relatif masih muda. Untuk mencari tokoh dan pelopor belum ada standar yang memadai, oleh karena itu yang dimaksud dengan pelopor dan tokoh sosiologi pendidikan di sini, hanya didasarkan pada para ahli sosiologi yang mempunyai perhatian dan komitmen yang tinggi terhadap pendidikan. Sejarah berdirinya sosiologi pendidikan tidak terlepas dari peran para tokoh sebagai berikut: B. Lester Frank Ward (1841-1913) Lester Frank Ward adalah seorang sosiolog Amerika Serikat yang hidup pada abad ke-19 dan awal abad ke-20. Ia dianggap sebagai salah satu pelopor sosiologi di Amerika Serikat, dan dikenal sebagai pencetus gagasan tentang lahirnya sosiologi pendidikan. 27 Abdullah Idi, Sosiologi Pendidikan: Individu, Masyarakat, dan Pendidikan, 6. Menurut Ward, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari peru- bahan-perubahan masyarakat karena usaha manusia. Dalam karya- nya yang berjudul “Applied Sociology” (sosiologi terapan), Ward mengemukakan bahwa kekuatan dinamis dalam gejala sosial adalah perasaan yang terdiri dari beberapa keinginan dan beberapa kepen- tingan. Perasaan merupakan kekuatan individu karena interaksi, kemudian berubah menjadi kekuatan sosial. Dari kekuatan sosial tersebut, manusia dapat menggerakkan kecakapan-kecapan dalam memenuhi kebutuhan mereka. Ward berpendapat bahwa pendidikan memainkan peran penting dalam mengembangkan kecakapan-kecapan manusia. Oleh karena itu, Ward mengusulkan bahwa sosiologi pendidikan harus menjadi bagian dari sosiologi secara umum. Ward juga menyatakan bahwa kecakapan-kecapan manusia dapat berkembang secara alami melalui pengalaman dan praktek, namun pendidikan formal dapat mempercepat proses tersebut. Dalam pandangannya, pendidikan harus berfokus pada pengembangan kecakapan-kecapan yang berguna bagi masyarakat, seperti ke- mampuan untuk berpikir kritis, bekerja sama, dan berkomunikasi. Secara keseluruhan, gagasan Lester Frank Ward tentang sosiologi pendidikan menempatkan pendidikan sebagai salah satu faktor kunci dalam pengembangan masyarakat yang lebih maju dan berkem- bang. Pandangannya bahwa kecakapan-kecapan manusia dapat dikembangkan melalui pendidikan formal masih relevan hingga saat ini dan menjadi dasar bagi banyak teori dan praktik dalam bidang pendidikan. Sumbangan Word yang penting terhadap sosiologi pendidikan adalah pemikirannya tentang evolusi sosial. Evolusi sosial adalah perkembangan masyarakat secara gradual yang menunjukkan proses perubahan yang terjadi dalam dinamika kehidupan sehari-hari dalam tiap masyarakat. Misalnya, adat serta peraturan diubah sesuai dengan desakan keperluan-keperluan baru dari individu-individu dalam masyarakat. Menurut Ward, pendidikan adalah alat penting untuk mendorong terjadinya proses evolusi masyarakat dalam mencapai tujuan-tujuan yang diharapkan. Sekolah merupakan institusi penting untuk menuju perubahan masyarakat dan mempunyai fungsi sosial yang lebih besar daripada peran mengajar individu. C. John Dewey (1859-1952) Gagasan Lester Frank Ward yang dikembangkan oleh John Dewey dalam karyanya “School and Society” memandang sekolah sebagai institusi sosial yang memiliki peran penting dalam membentuk indi- vidu yang lebih baik dan juga masyarakat yang lebih baik. Menurut Dewey, lembaga pendidikan harus berfungsi sebagai jembatan antara individu dan masyarakat, sehingga individu dapat memahami dan terlibat dalam kehidupan masyarakat dengan lebih baik. Dalam karyanya tersebut, Dewey juga mengkritik sistem pendi- dikan yang terlalu menekankan pada pembelajaran teori dan kuri- kulum yang terpisah dari kehidupan nyata. Ia berpendapat bahwa pendidikan haruslah diintegrasikan dengan kehidupan sehari-hari dan lingkungan sosial sehingga siswa dapat mengembangkan kemam- puan untuk berpikir kritis, kreatif, dan mandiri. Dewey juga menekankan pentingnya pendidikan yang bersifat praktis dan mengarah pada pengembangan keterampilan yang dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Ia menyadari bahwa banyak anak-anak yang tumbuh di kota dan hidup dalam lingkungan yang jauh dari dunia nyata sehingga mereka buta terhadap proses pembuatan barang-barang yang mereka gunakan setiap hari. Oleh karena itu, Dewey mengusulkan agar pendidikan diarahkan pada pengembangan keterampilan praktis seperti pertanian, kerajinan tangan, dan industri rumah tangga. Secara keseluruhan, Dewey mengemukakan gagasan bahwa pendidikan harus berorientasi pada kehidupan nyata dan berfungsi sebagai jembatan antara individu dan masyarakat. Ia menekankan pentingnya pendidikan praktis yang diintegrasikan dengan kehidupan sosial sehingga peserta didik dapat mengembangkan kemampuan untuk berpikir kritis, kreatif, dan mandiri serta memahami dan terlibat dalam kehidupan masyarakat dengan lebih baik. John Dewey, seorang filsuf dan pendidik Amerika, memandang bahwa pragmatisme adalah suatu pandangan filosofis yang sangat relevan dengan kehidupan masyarakat modern. Menurut Dewey, pragmatisme tidak hanya teori abstrak, tetapi juga harus memiliki aplikasi yang konkret dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, Dewey melihat bahwa pendidikan memiliki peran penting dalam menerapkan konsep pragmatisme dalam kehidupan masyarakat. Dewey melihat bahwa pendidikan harus mempersiapkan peserta didik untuk menjadi anggota masyarakat yang aktif dan berpartisipasi dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan harus fokus pada pengembangan ke- mampuan berpikir kritis dan kreatif, serta kemampuan untuk bekerja sama dan berkomunikasi dengan orang lain. Namun, Dewey juga melihat bahwa sistem pendidikan nasional di Amerika saat itu mengajarkan muatan-muatan yang sudah usang dan tidak relevan lagi dengan kebutuhan masyarakat modern. Dewey menilai bahwa pendidikan harus terus berkembang dan mengikuti perkembangan zaman, sehingga bisa memberikan manfaat yang lebih besar bagi masyarakat. Dalam pandangan Dewey, pendidikan yang hanya mengulang- ulang materi lama dan tidak mengikuti perkembangan zaman hanya akan mengebiri intelektualitas peserta didik. Oleh karena itu, pendidikan harus terus mengembangkan kurikulumnya dan memperkenalkan materi-materi yang relevan dengan kebutuhan masyarakat modern. Dalam hal ini, Dewey melihat bahwa pendidikan harus menjadi wahana strategis dan sentral dalam upaya kelangsungan hidup di masa depan. Dewey memandang bahwa pendidikan harus menjadi motor penggerak bagi kemajuan dan perkembangan masyarakat, sehingga dapat menciptakan kehidupan yang lebih baik bagi semua orang. Dalam bukunya Democracy and Education (1916), Dewey menawarkan suatu konsep pendidikan yang adaptif dan progresif bagi perkembangan masa depan. Dewey elaborated upon his teory that school reflect the community and be patterned after it so that when children graduate from school they will be properly adjusted to assume their place in sociaty. 28 Dari kutipan di atas dapat dipahami secara bebas bahwa pendi- dikan harus mampu membekali anak didik sesuai dengan kebutuhan yang ada pada lingkungan sosialnya. Sehingga, apabila anak didik tersebut telah lulus dari lembaga sekolah, ia bisa beradaptasi dengan masyarakatnya. Untuk merealisasikan konsepnya tersebut, Dewey menawarkan dua metode pendekatan dalam pengajaran yaitu: a) Problem Solving Method Metode problem solving yang disebutkan dalam pertanyaan mengacu pada pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik. Dalam metode ini, peserta didik diberi kebebasan untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapinya dengan cara yang sesuai dengan perkembangan kemampuannya.29 Metode ini menekankan pada pengembangan kemampuan berpikir kritis, kreatif, dan mandiri pada peserta didik. Dalam metode ini, peran pendidik bukanlah sebagai satu- satunya sumber informasi atau pusat pembelajaran. Sebaliknya, 28 Ruma Mubarok, “J-PAI: Jurnal Pendidikan Agama Islam “ Pendidikan Humanis John Dewy dalam Perspektif Pendidikan Islam, Vol. 2 No. 1 (Juli-Desember 2015), 7. https://media. neliti.com/media/publications/321440-pendidikan-humanis-john-dewey-dalam-pers-9f926682. pdf (diakses 10 Februari 2023). 29 Ibid. pendidik berperan sebagai fasilitator atau pembimbing yang membantu peserta didik dalam memecahkan masalah dan mengembangkan kemampuan berpikir mereka. Metode problem solving memiliki banyak keuntungan, antara lain: 1. Meningkatkan kemampuan berpikir kritis dan kreatif peserta didik 2. Meningkatkan motivasi belajar peserta didik karena mereka merasa memiliki kontrol atas pembelajaran mereka 3. Mengembangkan kemampuan mandiri dan self-directed learning pada peserta didik 4. Meningkatkan kemampuan problem solving pada peserta didik Dalam metode problem solving, pola lama yang hanya mengandalkan pendidik sebagai satu-satunya pusat informasi digantikan oleh pendekatan yang lebih menghargai perbedaan individu peserta didik. Metode ini lebih mengacu pada prinsip andragogi, yaitu pendekatan pembelajaran yang berpusat pada peserta didik dewasa yang dianggap memiliki kemampuan mandiri dalam belajar. b) Learning by Doing Konsep ini diperlukan untuk menjembatani kesenjangan antara dunia pendidikan dengan kebutuhan dalam masyarakat. Supaya anak didik bila telah menyelesaikan pendidikannya bisa exist dalam masyarakatnya, ketrampilan-ketrampilan praktis sesuai dengan kebutuhan masyarakat sosialnya.30 30 Ray Billington, Living Philosophy: an Introduction to Moral Thought (New York, Routledge & Kegen Paul, 1988), 273. D. Emile Durkheim (1858-1917) Emile Durkheim memang merupakan salah satu tokoh penting dalam perkembangan sosiologi pendidikan. Pandangan Durkheim tentang pendidikan sebagai suatu ikhtiar sosial atau social thing menekankan bahwa pendidikan merupakan suatu kegiatan yang berada dalam konteks masyarakat, bukan hanya sebagai upaya individu dalam mencapai tujuan-tujuan pribadi. Durkheim juga mengatakan bahwa pendidikan memiliki beragam bentuk, yang ditentukan oleh banyaknya perbedaan lingkungan di masyarakat. Hal ini mengacu pada kenyataan bahwa setiap masyarakat memiliki karakteristik dan kebutuhan yang berbeda-beda, sehingga pendidikan dalam masyarakat tersebut juga akan berbeda. Durkheim menekankan bahwa pendidikan tidak hanya berfungsi untuk mentransfer pengetahuan dan keterampilan dari generasi ke generasi, namun juga berperan dalam membentuk nilai dan norma sosial yang dianggap penting bagi masyarakat. Oleh karena itu, pendidikan harus dilakukan secara sistematis dan terorganisir, agar tujuan sosial dapat tercapai dengan efektif. Dalam pandangan Durkheim, pendidikan bukan hanya berkaitan dengan proses pembelajaran di sekolah atau lembaga pendidikan formal, namun juga meliputi proses sosialisasi yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari di lingkungan keluarga, masyarakat, dan budaya. Dengan demikian, pendidikan dipandang sebagai proses yang terus-menerus, dan melibatkan banyak aspek kehidupan masyarakat secara luas. Seperti telah dijelaskan pada uraian sebelumnya, bahwa teori pemikiran Durkheim terangkum dalam konsep “solidaritas sosial”. Solidaritas sosial, ia bagi menjadi dua, yakni solidaritas mekanik ke solidaritas organik. a. Solidaritas mekanik Solidaritas mekanik didasarkan pada suatu kesadaran ko- lektif bersama, yang menunjuk pada totalitas kepercayaan dan sentiment bersama yang rata-rata ada pada warga masyarakat yang sama itu.31 Indikator yang paling jelas untuk solidaritas me- kanik adalah ruang lingkup dan kerasnya hukum-hukum yang bersifat menekan itu (repressive). Ciri khas yang penting dari solidaritas mekanik adalah bahwa silidaritas itu didasarkan pada suatu tingkat homogenitas yang tinggi dalam kepercayaan, senti- men, dan sebagainya. Homogenitas serupa itu hanya mungkin kalau pembagian kerja bersifat sangat minim. b. Solidaritas organik Solidaritas organik didasarkan pada tingkat saling ketergan- tungan yang tinggi. Saling ketergantungan itu bertambah sebagai hasil dari bertambahnya spesialisasi dalam pembagian pekerjaan, yang memungkinkan dan juga menggairahkan bertambahnya perbedaan dikalangan individu. Durkheim mempertahankan bahwa kuatnya solidaritas organik itu ditandai oleh pentingnya hukum yang bersifat memulihkan dari pada yang bersifat represif. Dalam system organik, kemarahan kolektif yang timbul karena perilaku menyimpang menjadi kecil kemungkinannya, karena kesadaran kolektif itu tidak begitu kuat. Selain itu, Durkheim juga membandingkan sifat pokok dari masyarakat yang didasarkan pada solidaritas mekanik dengan sifat masyarakat yang didasarkan pada solidaritas organik.32 31 Diany Rizki Amalia, Alfitri, dan Yunindyawati, Solidaritas di Antara Pengrajin Songket: Suatu Tinjauan terhadap Teori Solidaritas Emile Durkheim di Desa Muara Penimbung, Kecamatan Indralaya, Kabupaten Ogan Ilir, Vol. 5 No. 1, 62. http://journalempirika.fisip.unsri.ac.id/index. php/empirika/article/download/90/pdf (diakses 10 Februari 2023). 32 Heri Kurnia, dkk, Sosiologi Pendidikan 44. Berikut ini dipaparkan perbandingan solidaritas mekanik dan solidaritas organik tersebut yang dikutip Wahyuni: 33 Solidaritas Mekanik Solidaritas Organik Pembagian kerja rendah Pembagian kerja tinggi Kesadaran kolektif rendah Kesadaran kolektif lemah Hukum represif dominan Hukum restitutif dominan Individualitas rendah Individualitas tinggi Konsensus terhadap pola-pola normative itu penting Konsensus terhadap nilai abstrak dan umum itu penting Peranan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang Badan kontrol sosial yang menghukum orang yang menyimpang Saling ketergantungan itu rendah Saling ketergantungan yang tinggi Bersifat primitif atau pedesaan Bersifat industrial-perkotaan Pandangan sosiologi Durkheim di atas, berpengaruh terhadap pandangan pendidikan. Dia mengatakan bahwa masyarakat secara keseluruhan dan lingkungan sosialnya merupakan penentu cita- cita yang dilaksanakan lembaga pendidikan. Suatu masyarakat bisa bertahan hidup hanya kalau terdapat suatu tingkat homoginitas yang memadahi di kalangan warganya. Keseragaman yang esensial dituntut dalam kehidupan bersama, dapat diupayakan melalui pendidikan semenjak dini di kalangan anak-anak. Keanekaragaman yang penting itu dapat dijamin oleh upaya pendidikan dengan jalan pengadaan pendidikan yang beraneka ragam, baik jenjang pendidikan maupun spesialisasinya.34 Pandangan Durkheim tentang pendidikan ini menekankan bahwa pendidikan bukanlah hanya satu model tetapi bermacam- macam. Dengan demikian, masyarakat secara keseluruhan dan lingkungan sosialnya dapat menentukan tipe-tipe pendidikannya. 33 Wahyuni, Pengantar Sosiologi, (Makassar: PKBM Rumah Buku Carabaca, 2018), 16. 34 Prasetyo dan Hendrikus Ivoni Bambang, Sosiologi Pendidikan,: Ruang Lingkup dan Definisi Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Universitas Terbuka, 2012), 1.4. Menurut Durkheim sebagai sarana untuk memenuhi salah satu hak asasi manusia, yakni pendidikan. Pendidikan merupakan kebutuhan psikologis mendasar manusia. Pendidikan merupakan alat untuk me- ngembangkan kesadaran diri sendiri dan kesadaran sosial, menjadi satu paduan yang stabil, disiplin, dan utuh secara bermakna. Pan- dangan sosiologi pendidikan Durkheim dapat dilihat pada beberapa karyanya, antara lain: Education and Society (1956), Moral Education (1961), dan Evolution of Educational Thought (1977). E. Karl Mannheim (1893-1947) Karl Mannheim, seorang sosiolog terkenal, memandang bah- wa pendidikan memiliki peran penting dalam proses sosial dan perkembangan manusia. Ia tidak melihat pendidikan hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan abstrak kebudayaan atau untuk transfer keahlian teknis semata, melainkan juga sebagai bagian penting dalam proses mempengaruhi manusia. Menurut Mannheim, pendidikan harus dilihat sebagai bagian dari proses sosial yang lebih besar. Sebagai anggota masyarakat, manusia berada dalam lingkungan yang sangat beragam dan dinamis, dan pendidikan harus mampu menyesuaikan diri dengan perubahan dan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Pendidikan juga dianggap sebagai salah satu faktor yang mem- pengaruhi bentuk dan arah perkembangan masyarakat. Mannheim berpendapat bahwa pendidikan dapat membantu menciptakan kondisi yang memungkinkan bagi individu untuk memahami dan mengikuti perubahan sosial yang terjadi di masyarakat. Dalam pandangan Mannheim, ahli sosiologi harus memahami peran penting pendidikan dalam proses sosial dan memperhatikan pengaruhnya terhadap individu dan masyarakat secara keseluruhan. Dengan memahami peran pendidikan, ahli sosiologi dapat membantu masyarakat untuk menciptakan sistem pendidikan yang lebih efektif dan sesuai dengan kebutuhan sosial. Pemikiran sosiologi Mannheim terkenal dengan sebutan sosiologi pengetahuan. Sosiologi pengetahuan adalah sosiologi yang mengkaji hubungan masyarakat dan pengetahuan. Menurut Menheim peng- gunaan pendekatan sosiologis terhadap permasalahan-permasalahan pendidikan, tidak saja dapat membawa nilai positif di dalam peru- musan tujuan pendidikan, akan tetapi dapat pula membantu pada pengembangan konten dan metodologi. Dalam konteks sosiologi pengetahuan ini, pendidikan mempunyai peran penting dalam perkembangan masyarakat. Menurut Mannheim, pendidikan tidak semata-mata sebagai alat merealisasikan cita-cita abstrak suatu kebudayaan, atau sebagai alat transformasi keahlian teknis, tetapi lebih dari itu, pendidikan merupakan bagian dari proses mempengaruhi manusia. Pendidikan hanya dapat dipahami dalam konteks untuk membentuk masyarakat seperti apa yang kita inginkan. Pemikiran pendidikan Mannheim terangkum dalam publikasi dengan judul An Introduction the Sociology of Education. Dalam artikel ini, ia menyebut tiga hal penting kurikulum yang perlu diperhatikan oleh lembaga pendidikan guru, yakni: 1) Sosiologi untuk guru, yang meliputi; (a) sifat manusi dan tata sosial; (b) dampak kelompok sosial terhadap individu; (c) struktur sosial. 2) Sosiologi pendidikan, meliputi pembahasan; (a) sekolah dan masyarakat; (b) sosiologi pendidikan dan aspek-aspek sejarahnya; (c) sekolah dan tata sosial. 3) Sosiologi mengajar, mencakup: (1) interpretasi sosiologi terhadap kehidupan sekolah; (b) hubungan guru dan murid; (c) masalahmasalah organisasi sekolah. F. George Payne George Payne, yang sering dianggap sebagai bapak sosiologi pendidikan, mengartikan sosiologi pendidikan sebagai ilmu yang menjelaskan dan menggambarkan lembaga-lembaga, kelompok- kelompok sosial, dan proses sosial yang terlibat dalam pendidikan. Payne menekankan bahwa hubungan sosial antarindividu di dalam lingkungan pendidikan merupakan aspek utama yang harus diteliti dalam sosiologi pendidikan. Menurut Payne, sosiologi pendidikan mencakup berbagai aspek pendidikan dari sudut pandang ilmu terapan. Hal ini termasuk analisis tentang bagaimana lembaga-lembaga pendidikan beroperasi, bagai- mana kelompok-kelompok sosial seperti keluarga dan masyarakat berinteraksi dengan sistem pendidikan, dan bagaimana proses sosial seperti socialization dan stratifikasi sosial mempengaruhi pengalaman individu dalam lingkungan pendidikan. Dengan kata lain, sosiologi pendidikan berupaya untuk memahami kompleksitas dan dinamika dalam lembaga-lembaga pendidikan, serta hubungan sosial dan interaksi yang terjadi di dalamnya. Dalam hal ini, sosiologi pendidikan membantu kita memahami bagaimana pengalaman pendidikan dapat berbeda antara individu-individu, kelompok-kelompok sosial, dan komunitas-komunitas berdasarkan faktor-faktor sosial seperti kelas sosial, etnisitas, agama, dan gender. Bagi Payne sosiologi pendidikan tidak hanya meliputi segala sesuatu dalam bidang sosiologi yang dapat dikenakan analisis sosio- logis. Tujuan utamanya ialah memberikan pendidik, para peneliti dan orang lain yang menaruh perhatian akan pendidikan latihan yang serasi dan efektif dalam sosiologi yang dapat memberikan sumbangannya kepada pemahaman yang lebih mendalam tentang pendidikan.35 Itulah tokoh-tokoh yang berjasa besar terhadap perkembangan sosiologi pendidikan. Dalam perkembangan selanjutnya, mulai tahun 1938-1947 sosiologi pendidikan mengalami kemandegan. Faktor penyebabnya adalah sosiologi pendidikan yang digantikan oleh kuliah-kuliah dalam sosiologi. Dengan alasan bahwa bagi pendidikan pendidik lebih berguna bila diberi sosiologi dari pada diberi kuliah khusus mengenai sosiologi pendidikan. Pada masa-masa stagnan 35 Depict Pristine Adi, Diktat Sosiologi Pendidikan: Paradigma Baru Pendidikan Berwawasan Masyarakat, (Jember: IAIN Jember, 2020), 7. ini, yang dapat dilakukan hanya review of educational research pada tahun 1940. Untuk membangkitkan kembali sosiologi pendidikan, maka pada tahun 1943 sampai dengan 1945, Institut sosiologi di London menyelenggarakan konferensi-konferensi tentang sosiologi dan pendidikan. Berkat konferensi tersebut, pada tahun-tahun berikutnya muncul begitu banyak buku pendidikan yang diwarnai sudut pandang sosiologi. Clarke menerbitkan buku berjudul Freedom in the 8Educative Sociology pada tahun 1948. Kemudian pada tahun 1950 WAC. Steward menulis artikel penting yang dimuat pada Sociological Review, dengan judul Philosophy and Sociology in The Training of Teacher. Artikel ini dijadikan dasar pertimbangan dalam menetapkan kurikulum pendidikan guru. Dalam artikelnya, Steward menggunakan istilahistilah yang biasa digu- nakan untuk sosiologi pendidikan, seperti sociological approach to education, educational sociology, dan sociology of education. Pada tahun 1960 sosiologi mendapat perhatian yang luar biasa. Para mahasiswa melimpah ruah, perekonomian melaju naik, dan pemba- haruan dapat diraih melalui proses politik yang ada. Pada tahun 1965 partai buruh di Inggris mempercepat proses peralihan yang lamban ini ke arah pendidikan yang lebih kompre- hensif dalam rangka untuk menghilangkan ketidaksamaan kesem- patan. Sosiologi pendidikan dikuliahkan pertama kali oleh Henry Suzzalo tahun 1910 di Teacher College, Universitas Columbia. Tetapi baru tahun 1917 terbit texbook sosiologi pendidikan yang pertama kali karya Walter R. Smith dengan judul “Introduction to Educational Sosiology”. Pada tahun 1916 di Universitas New York dan Columbia didirikan Jurusan Sosiologi Pendidikan. Himpunan untuk studi sosio- logi pendidikan dibentuk pada kongres Himpunan Sosiologi Amerika dalam tahun 1923. sejak tahun itu diterbitkan buku tahunan sosiologi pendidikan. Pada tahun 1928 terbitlah The Journal of Educational Sosiology di bawah pimpinan E. George Payne. Majalah Social Education mulai terbit dalam tahun 1936. sejak tahun 1940 dalam Review of Educational Research dimuat pula artikel-artikel yang mempunyai hubungan dengan sosiologi pendidikan. Selama 40 tahun perkembangan sosiologi pendidikan berjalan lambat, tapi kokoh dan pasti. Semula hanya buku “Educational Sosiology” yang menjadi “Sosiology of Education”. Kemudian sejumlah buku sosiologi pendidikan yang ditulis bermunculan, seperti “An Introduction to Education Sosiology”, “Foundation of Education Sosiology”, “Sosiology of Teaching”, “The Teacher and Society”. Perkembangan sosiologi pendidikan di Inggris, ketika diangkatnya Clarke sebagai Direktur Pendidikan Tinggi Kependidikan di London. Dia sangat yakin bahwa konstribusi sosiologi kepada pendidikan sangatlah besar. Dan kemdian ia menegaskan bahwa titik pijak sosiologi supaya diaplikasikan dalam dunia pendidikan. Di Indonesia, mata kuliah sosiologi pendidikan baru muncul tahun 1967. Mata kuliah ini dicantumkan dalam kurikulum Jurusan Didaktik dan Kurikulum pada Fakultas Ilmu Pendidikan IKIP Yogyakarta.36 Setidaknya ada tiga faktor yang menunjang pertumbuhan sosio- logi pendidikan dalam tahun 1960-an di Indonesia. Pertama, sifat pendidikan guru yang berubah-ubah mulai dengan diperkenalkannya program pendidikan tahap pertama selama tiga tahun di college- college pada tahun 1962. Kedua, Permintaan terhadap tenaga pen- didik semakin banyak, sehingga para mahasiswa-yang mengambil jurusan pendidikan guru yang sedang belajar di college-college menambah studinya selama satu tahun lagi hingga mencapai gelar Bachelor of Education (Sarjana Muda Pendidikan). Faktor kedua ini merangsang perkembangan studi akademik pendidikan, dan dengan demikian merangsang pula pertumbuhan ilmu-ilmu sosial dasar yang menopangnya, yakni sosiologi, psikoligi, filsafat, dan sejarah.37 36 Zaitun, Sosiologi Pendidikan Teori dan Aplikasinya, (Pakanvaru: Kreasi Edukasi Publishing And Consulting Company, 2016), 10. 37 Depict Pristine Adi, Diktat Sosiologi Pendidikan: Paradigma Baru Pendidikan Berwawasan Masyarakat, 8. Dari sini lahirlah permintaan-permintaan akan tenaga sosiolog untuk ikut mengajar pada program-program studi akademis ini. Selanjutnya perkembangan ini merangsang pula departemen-depar- temen pendidikan di universitas untuk menyelenggarakan program- program diploma dan program gelar lainnya yang lebih tinggi guna menghasilkan tenaga-tenaga yang dibutuhkan. Ketiga, perubahan suasana mental perencanaan pendidikan di penghujung tahun 1960-an dari op0timisme ke pesimisme. Perubahan sosial yang sangat pesat di tahun 1960-an, mendorong para ahli sosiologi mempelajari pola-pola ketimpangan dalam masyarakat dan efek-efek kelas terhadap apa yang dicapai di bidang pendidikan.38 Vembriarto menegaskan bahwa sosiologi pendidikan sebagai salah satu cabang dari sosiologi khusus dapat diartikan sebagai sosiologi yang diterapkan untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang fundamental yang memusatkan perhatian pada penyelidikan daerah yang saling dilingkupi antara sosiologi dengan ilmu pendidikan. Tugas dari sosiologi pendidikan adalah melakukan penelitian dalam bidang pendidikan, terutama dalam kaitan dengan struktur dan dinamika proses pendidikan. Pengertian struktur adalah teori dan filsafat pendidikan, sistem kebudayaan, struktur kepribadian, dan interelasinya dengan tata sosial masyarakat. Sementara dinamika adalah proses sosio dan kultural, proses perkembangan kepribadian dalam hubungannya dengan proses pendidikan. Menurut pendapat Ary Gunawan, bahwa sejarah sosiologi pen- didikan terdiri dari empat fase, yaitu: a. Fase pertama, dimana sosiologi sebagai bagian dari pandangan tentang kehidupan bersama filsafat umum. Pada fase ini sosiologi merupakan cabang filsafat, maka namanya adalah filsafat sosial. 38 Heri Kurnia, dkk, Sosiologi Pendidikan, 55. b. c. Dalam fase kedua ini, timbul keinginan-keinginan untuk mem- bangun susunan ilmu berdasarkan pengalaman-pengalaman dan peristiwa-peristiwa nyata (empiris). Jadi pada fase ini mulai adanya keinginan memisahkan diri antara filsafat dengan sosial. Sosiologi pada fase ketiga ini, merupakan fase awal dari sosiologi sebagai ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri. Orang mengatakan bahwa Comte adalah “bapak sosiologi”, karena ialah yang pertama kali mempergunakan istilah sosiologi dalam pembahasan tentang masyarakat. Sedangkan Saint Simon dianggap sebagai “perintis jalan” bagi sosiologi. Ia bermaksud membentuk ilmu yang disebut “Psycho-Politique”. Dengan ilmu tersebut Saint Simon dan juga Comte mengambil rumusan dari Turgot (1726-1781) sebagai orang yang berjasa terhadap sosiologi, sehingga sosiologi menjadi tumbuh sendiri. d. Pada fase yang keempat ini, ciri utamanya adalah keinginan untuk bersama-sama memberikan batas yang tegas tentang obyek sosiologi, sekaligus memberikan pengertian-pengertian dan metode-metode sosiologi yang khusus. Pelopor sosiologi yang otonom dalam metodenya ini berada pada akhir abad 18 dan awal 19 antara lain adalah Fiche, Novalis, Adam Muller, Hegel, dan lain-lain.39 Dari uraian diatas dapat dipahami bahwa sosiologi pendidikan, baik dilihat dari sudut usia, lapangan penelitian, maupun dari sudut struktur dan prosesnya, merupakan disiplin ilmu yang masih muda. Namun demikian, para ahli optimis bahwa sosiologi pendidikan secara bertahap dan sedikit demi sedikit berkembang dari statusnya yang belum pasti menuju status yang pasti, yaitu menjadi disiplin ilmu yang 39 Suhada, “Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam”, Sosiologi Pendidikan dalam Pembentukan Karakter (Sudut Pandang Sosial), Vol. 3 No. 1 (2020), 114-115 http://www.jurnal. stitalamin.ac.id/index.php/alamin/article/view/44 (diakses 10 Februari 2023). otonom dan memiliki lapangan penelitian khusus. Hal ini didasarkan atas beberapa alasan, diantaranya: 1. Sosiologi pendidikan merupakan pengembangan dari dua disiplin ilmu yang sudah mapan, bahkan sangat berpengaruh dalam kehidupan masyarakat modern, yaitu sosiologi dan pedagogik. 2. Lahirnya sosiologi pendidikan tidak pernah dipaksakan dan direkayasa, tetapi lahir dari kebutuhan kehidupan masyarakat modern. 3. Sosiologi sangat dibutuhkan pendidikan dan pendidikan tidak pernah surut, mundur, dan diabaikan. Dunia modern selalu mem- butuhkan pendidkan sehingga ilmu pendidikan tidak akan pernah mati. 4. Sosiologi pendidikan sejaan dengan fitrah manusia dan manusia semakin berkembang. 5. Perkembangan ilmu pengetahuan yang telah mencapai kemajuan, akan melahirkan disiplin-disiplin ilmu pengetahuan yang baru. BAB III PENTINGNYA MEMPELAJARI SOSIOLOGI PENDIDIKAN K egiatan pendidikan sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Pada saat yang sama, masyarakat terus berubah sesuai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Agar pendidikan tidak hilang dalam menghadapi masyarakat yang terus berubah, maka dunia pendidikan harus terus mengkaji dan menganalisis aspek perubahan baik dari segi positif maupun negatif. Setelah itu, dunia pendidikan harus mengembangkan sisi positifnya dan meminimalisir sisi negatifnya. Calon pendidik, pendidik, dosen dan siapapun yang berkecimpung di dunia pendidikan harus mempelajari sosiologi pendidikan karena beberapa alasan: Pertama, pendidikan mau tidak mau harus bisa menyiapkan sebuah generasi yang siap memasuki masyarakat yang berubah menuju masyarakat berbasis pengetahuan. Jika pendidikan tidak menghasilkan manusia yang siap memasuki masyarakat dengan segala syarat dan karakter yang memungkinkan, maka pendidikan dianggap gagal menciptakan kondisi dan prasyarat perubahan dan masa depan. Pendidikan, sekolah dan pendidik, harus bisa membekali peserta didiknya dengan kemampuan kreatif dengan menambah pengetahuan dan pengalaman hidup kerja secara profesional di tengah masyarakat ekonomi dan masyarakat pengetahuan. Berikan peserta didik pengetahuan professional, kreatifitas dan kemampuan memahami dunia yang berubah di mana mereka berkerja dan menjalani kehidupan meraka, dengan segala implikasinya. Pentingnya dunia pendidikan menggunakan jasa pemikiran sosiologis.40 Kedua, para profesional pendidikan dapat merumuskan cara untuk menciptakan orientasi yang relevan dalam dunia yang terus berubah, namun di sisi lain, bias dan disorientasi tidak terjadi dalam dunia pendidikan. Namun, pendidikan adalah tempat yang bertanggung jawab untuk mempromosikan tatanan sosial yang 40 Moh. Ali Sodi,” Perspektive” Sosiologi Sebagai Pendekatan Studi Pendidikan, Vol. 12 No. 2, (Oktober 2019), 89. http://ejournal.kopertais4.or.id/mataraman/index.php/perspektif/article/ view/3919 (diakses 10 Februari 2023). diilhami oleh prinsip-prinsip nilai kemanusiaan, keadilan, dan ke- baikan bersama.41 Suatu masyarakat ekonomi, khususnya dalam produksi ekonomi maju, dapat mengubah masyarakat yang terdistorsi, termasuk masya- rakat pendidikan, menjadi lembaga ekonomi yang hanya melayani kepentingan kapitalis. Pendidikan harus mampu menjadi lembaga penyembuhan dalam masyarakat yang tidak aman, terpecah belah, dan sakit. Ketiga, pendidikan membutuhkan alat pemotong analisis sosio- logi karena bukan sekedar mesin atau teknologi pembelajaran. Sekolah dan pendidik tidak bisa lagi menggunakan kacamata kuda. Dalam hal ini hanya meningkatkan kemampuan mereka untuk memenuhi tujuan kurikulum, meningkatkan nilai ujian peserta didik, dan fokus hanya pada keberhasilan ujian nasional. Pendidikan harus dikaitkan dengan perkembangan dan dinamika lingkungan sosial. Pendidikan harus memberikan pencerahan kepada peserta didik agar mereka dapat memahami dunia yang terus berubah dengan cepat. Dunia yang tidak lagi memiliki batas wilayah, lokal, regional, atau bahkan nasional.42 Manusia saat ini hidup di era global dimana tidak ada lagi sekat antar negara. Dalam dunia yang selalu berubah, pendidikan harus memberdayakan peserta didik untuk selalu siap berubah (ready to change) dan siap belajar (ready to learn). Keempat, pendidikan sebagai “influencer of social change” di satu pihak memerlukan tugas transformatif, yaitu pendidikan sebagai jembatan pemajuan masyarakat, agar tidak tertinggal dalam dinamika perubahan. Institusi pendidikan diharapkan dapat membekali peserta didik dan masyarakatnya dengan beragam pengalaman, pengetahuan, teknologi dan keterampilan untuk masa depan. Di sisi lain, pendidikan 41 Ibid., 90. 42 Ibid., 90. tetap diperlukan untuk mentransmisikan nilai-nilai budaya kepada generasi muda. Nilai-nilai budaya suatu bangsa seperti susunan keluarga, agama, norma sosial dan falsafah hidup bangsa harus diles- tarikan untuk menjaga keutuhan dan kelangsungan hidup bangsa. BAB IV PENDIDIKAN DAN MASYARAKAT B agian ini membahas masalah pendidikan dalam hubungannya dengan masyarakat. Pendidikan tidak bisa berdiri sendiri. Kegiatan pendidikan sangat erat kaitannya dengan pihak lain. Setidaknya ada trilogi lembaga pendidikan yaitu sekolah, keluarga dan masyarakat. Ketiga lembaga ini harus bekerja sama mempersiapkan dan mengasuh peserta didik untuk masa depan mereka. Pendidikan adalah suatu proses di mana seseorang dimanusiakan secara berkelanjutan dan terarah, mempersiapkan peserta didik untuk hidup dalam masyarakat. Walaupun masyarakat selalu berubah mengikuti perkembangan zaman. Agar pendidikan tidak hanya larut dalam perubahan masyarakat, tetapi juga tetap mengikuti nilai-nilai yang diidealkan, maka pendidikan harus memperhatikan setiap perkembangan masyarakat. A. Individu dan Masyarakat Dalam ilmu sosial, individu adalah bagian terkecil dari suatu kelompok masyarakat yang tidak dapat dibagi-bagi menjadi bagian- bagian yang lebih kecil lagi. Misalnya keluarga sebagai kelompok so- sial terkecil yang terdiri dari ayah, ibu dan anak. Seorang ayah adalah orang yang tidak lagi terbagi, seperti halnya seorang ibu. Anak-anak masih dapat dibagi karena bisa lebih dari satu anak dalam keluarga. Banyak ahli memberikan pengertian tentang masyarakat. Masya- rakat dapat diartikan sebagai koeksistensi manusia yang meng- hasilkan kebudayaan. Menurut R.M. MacIver dan Charles H. Page, mengartikan masyarakat sebagai suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerjasama antar berbagai kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah laku serta kebebasan kebebasan manusia.43 Sedangkan Ralph Linton menganggap masya- rakat merupakan setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerjasama cukup lama, sehingga mereka dapat mengatur diri 43 Nanang Rustandi, “Tsaqôfah, Jurnal Agama dan Budaya” Agama dan Perubahan Sosial Ekonomi, Vol. 18 No. 02 (Juli-Desember 2020), 204 (New York: Macmillan & Co. Ltd, 1961), 5. http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/tsaqofah/article/view/3655 (diakses 10 Februari 2023). mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.44 Menurut Soerjono Soekanto, masyarakat dicirikan oleh: (1) Manusia yang hidup bersama di dalam lingkungan sosial yang tidak ada ukuran mutlak ataupun angka pasti untuk menentukan jumlah manusia yang harus ada, akan tetapi secara historis angka minimumnya adalah 2 orang yang hidup bersama; (2) Bercampur untuk waktu yang cukup lama; (3) Mereka sadar bahwa mereka merupakan satu kesatuan; (4) Mereka merupakan suatu system hidup bersama. System kehi- dupan bersama menimbulkan kebudayaan, oleh karena setiap anggota kelompok merasa dirinya terikat dengan yang lain.45 Ada dua hal yang perlu dipahami dari pengertian di atas, yaitu bahwa masyarakat itu kelompok yang terorganisasi dan masyarakat itu suatu kelompok yang berpikir tentang dirinya sendiri yang berbeda dengan kelompok yang lain. Oleh karena itu, orang yang berjalan bersama atau duduk bersama dan berpisah bukanlah masyarakat. Kelompok yang tidak melihat kelompoknya sebagai kelompok bukanlah masyarakat. Oleh karena itu, kawanan burung yang ter- bang bersama dan semut dalam barisan yang rapi bukanlah masya- rakat dalam arti sebenarnya, karena mereka berkelompok hanya berdasarkan naluri. Sebagai sekelompok orang, masyarakat menghadapi masalah yang terus berkembang. Oleh karena itu, warga masyarakat harus mampu mengatasi semua masalah tersebut. Tanpa kemampuan, orang mungkin tidak dapat mengatasi masalah mereka. Melalui community building, mereka ditanamkan ilmu pengetahuan, budaya 44 Hasyim Haddade, Strategi Pemberdayaan Madrasah Berbasis Masyarakat, (Gowa: Alauddin University Press, 2021), 15. 45 Ibid., 16-17. dan karakter sehingga mampu bertahan dan meningkatkan taraf hidup mereka. Hubungan antara individu dan masyarakat telah ditekankan oleh banyak ahli, baik filsuf maupun ilmuwan sosial. Perbedaan pandangan tersebut dapat dirangkum dalam tiga pendapat, yaitu (1) masyarakat menentukan individu, (2) individu menentukan masyarakat, dan (3) individu dan masyarakat saling menentukan. 1) Masyarakat menentukan individu Sudut pandang ini didasarkan pada kenyataan bahwa masyarakat memiliki realitasnya sendiri. Masyarakat itu penting dan individu hidup untuk masyarakat. Masyarakat memiliki realitasnya sendiri dan tidak terhubung dengan elemen lain dan diterima secara umum. Masyarakat yang ditindas oleh orang tersebut berada di luar orang yang memikirkan komunitas itu sendiri. Sebelum adanya individu diyakini bahwa masyarakat ada. Jadi masyarakat tidak bergantung pada individu yang memikirkannya. 2) Individu menentukan masyarakat Pandangan ini berakar pada individualisme. Individualisme adalah pandangan bahwa dalam kehidupan seorang individu, kepentingan dan kebutuhan individu lebih penting daripada kebutuhan dan kepentingan masyarakat. Individu yang menen- tukan model masyarakat yang diinginkan. Masyarakat harus melayani kepentingan individu. Individu memiliki hak mutlak, dan masyarakat tidak dapat merebutnya demi kebaikan yang lebih besar. 3) Individu dan masyarakat saling menentukan Pandangan ini menegaskan bahwa hubungan antara individu dan masyarakat saling berinteraksi. Paham ketiga ini me- mandang masyarakat sebagai suatu proses di mana manusia sendiri berusaha untuk hidup bersama menurut pengertiannya, bertanggung jawab atas akibatnya. Manusia tidak berada dalam masyarakat seperti burung yang dikurung, tetapi dia berada dalam masyarakat. Masyarakat bukanlah wadah melainkan suatu kegiatan, yaitu kegiatan sosial. Masyarakat terdiri dari makna, perasaan, sikap, dan tindakan yang tak terhitung jumlahnya. Orang berhubungan satu sama lain menurut pola sikap dan perilaku tertentu yang mereka sukai atau harus mereka terima. Secara umum, kebanyakan orang menyesuaikan perilakunya dengan pola-pola ini. Kalau tidak, hidup sebagai manusia tidak mungkin. Hubungan individu-masyarakat yaitu bahwa hidup bermasyarakat adalah ciptaan dan usaha manusia sendiri. Tanpa individu-individu tidak ada masyarakat, sebaliknya tidak ada masyarakat tanpa individu- individu. Yang menjadi persoalan bagaimana individuindividu dalam masyarakat mengembangkan hidupnya menjadi lebih manusiawi? Di sinilah letak pentingnya peran pendidikan. Dalam masyarakat, orang tidak bebas dalam arti sebebas mungkin tanpa mengkhawatirkan orang lain. Ia harus membagi hidupnya dengan orang lain agar kehidupan dalam masyarakat tidak hancur. Namun cara dan bentuk berbagi kehidupan ditentukan secara bebas. Tidak ada model budaya yang absolut dan universal. Oleh karena itu ada hubungan timbal balik antara individu dan masyarakat. Menurut Veeger, K menyatakan di satu pihak individu ikut membentuk dan menegakkan masyarakat, dan ia bertanggungjawab. Di lain pihak masyarakat menghidupi dan mengembangkan individu dan oleh karenanya bersifat mengikat bagi dia.46 46 Edison Bonar Tua Hutapea, “Jurnal Oratio Directa” Konstruksi Realitas Prostitusi Perempuan Hamil di Ibukota (Fenomenologi Interpretatif Pelacuran Perempuan Hamil di Jakarta), Vol. 3 No. 2.(Februari 2022), 473. https://ejurnal.ubk.ac.id/index.php/oratio/article/view/167. (diakses 10 Februari 2023). B. Pendidikan dan Lingkungan Sosial Pendidikan berkaitan dengan pengembangan pengetahuan, perilaku dan sikap peserta didik. Pendidikan sangat erat kaitannya dengan transmisi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keterampilan dan aspek perilaku lainnya kepada generasi muda. Pendidikan adalah proses belajar dan mengajar manusia untuk berperilaku sesuai dengan harapan masyarakat.47 Menurut Ali Nasith, perilaku manusia hampir seluruhnya bersifat sosial, yang dipelajari melalui interkasi dengan manusia lainnya. Hampir semua yang kita pelajari adalah hasil dari hubungan kita dengan orang lain di rumah, di sekolah, di taman bermain, di tem- pat kerja, dan sebagainya. Bahkan pelajaran atau isi pendidikan ditentukan oleh kelompok atau masyarakat tempat peserta didik melaksanakan pendidikan.48 Bagi masyarakat sendiri hakikat pendidikan sangat bermanfaat bagi kelangsungan dan proses kemajuan hidupnya. Agar masyarakat itu dapat melanjutkan eksistensinya, maka kepada anggota mudanya harus diteruskan nilai-nilai, pengetahuan, keterampilan, dan bentuk tata perilaku lainnya yang diharapkan akan dimiliki oleh setiap anggota. Setiap masyarakat berupaya meneruskan kebudayaannya dengan proses adaptasi tertentu sesuai corak masing-masing periode jaman kepada generasi muda melalui pendidikan, secara khusus melalui interaksi sosial. Dengan demikian pendidikan dapat diartikan sebagai proses sosialisasi.49 47 Usman Alwi, Ahmad Badwi, dan Baharuddin, “Jurnal Al–Qiyam” Peran Pendidikan Sebagai Transformasi Sosial dan Budaya, Vol. 2 No. 2 (Desember 2021), 188. http://ojs.staialfurqan.ac.id/ alqiyam/article/view/176 (diakses 10 Februari 2023). 48 Ali Nasith, Tinjauan Terhadap Perubahan Sosial dalam Perspektif Sosiologi Pendidikan, tidak diterbitkan Seminar Nasional Hasil Penelitian Universitas Kanjuruhan Malang (2017), 661. 49 Ali Nasith, Tinjauan Terhadap Perubahan Sosial dalam Perspektif Sosiologi Pendidikan, 662. Dalam pengertian ini, pendidikan dimulai pada saat individu pertama kali berinteraksi dengan lingkungan luar di luar dirinya, yaitu keluarga. Bayi yang baru lahir pasti akan hidup dalam keadaan tidak berdaya sama sekali. Untuk memahami hal ini, sang ibu berusaha memberikan segala macam kasih sayang dan buaian cinta dengan susunya, perawatan yang lembut dan pembawaan yang sangat intim. Dengan cara ini, prosesnya akan terus berlanjut selama bayi masih membutuhkan pertolongan intensif dari orang lain. Hingga usia lima tahun, seorang bayi tumbuh dan dengan sehat di dalam mahligai cinta kasih perpaduan sepasang manusia yang menjadi orang tuanya. Dari sini terlihat bahwa selain belajar, mempelajari dan melaku- kan berbagai tanggapan terhadap rangsangan dari dunia baru oleh anggota keluarga baru, juga dapat diamati bahwa bayi juga me- mahami hakikat nilai-nilai kemanusiaan keluarganya. bentuk gerak tubuh, belajar berbicara, tertawa dan segala tingkah laku yang mem- perjelas bahwa jiwa dan raganya terombang-ambing di bawah belaian lembut orang dewasa. Gambaran di atas hanyalah sebagian kecil dari siklus belajar seorang individu dalam masyarakat. Proses tersebut berlangsung pula ketika kita menjadi manusia dewasa. Apabila kita memenuhi kewajiban sebagai saudara laki-laki, suami atau warga negara serta menjalankan hal-hal lain yang tertanam kuat dalam benak kesadaran kita, itu berarti kita melakukan tugas yang sudah ditentukan secara eksternal oleh hukum-hukum kodrat sosial dan kebiasaan-kebiasaan yang berkembang begitu alamiah dari lingkungan sosial. Kewajiban ini tidak timbul dari paksaan eksternal secara mekanis, tetapi selalu disertai dengan gejala timbal balik individu dengan lingkungan eksternal, sehingga pada tahap terakhir masyarakat telah menghasilkan ribuan bahkan jutaan orang yang sehat jasmani dan rohani serta tunduk pada kolektivitas peraturan. C. Fungsi Sekolah bagi Masyarakat Pada dasarnya, tugas sekolah adalah memberikan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan yang diperlukan seseorang untuk mencapai kedewasaan penuh dan menyalurkan potensi bakatnya. Dalam konteks sosial, Nasution memaparkan misi sekolah kepada masyarakat, yaitu:50 (1) Sekolah mempersiapkan seseorang untuk mendapat suatu pekerjaan. Peserta didik dituntut untuk dapat bekerja dalam suatu pe- kerjaan yang memenuhi tuntutan dunia kerja, atau paling tidak memiliki landasan mata pencaharian. Semakin tinggi pendidikan, semakin besar harapan untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan pengakuan yang tinggi. Pada tingkat tinggi, seseorang memahami dan mengelola pekerjaan yang dipercayakan kepadanya, keterampilan administratif, atau tugas lainnya. (2) Sekolah memberikan keterampilan dasar. Orang yang bersekolah setidaknya mampu membaca, me- nulis, dan berhitung di masyarakat saat ini. Selain itu, berbagai pengetahuan lain seperti sejarah, geografi, kesehatan, kewar- ganegaraan, agama, bahasa, biologi, keterampilan teknis dan lain-lain diperoleh yang memungkinkan anak-anak untuk melan- jutkan studi atau mempersiapkan mereka memasuki dunia kerja.51 (3) Sekolah membuka kesempatan memperbaiki nasib. Sejak diperkenalkannya sistem sekolah, yang menguntungkan semua lapisan masyarakat secara merata di seluruh negeri, secara otomatis telah meruntuhkan tembok ketimpangan sosial dalam 50 S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), 14-17. 51 Siti Muri’ah, dan Gianto, Kekerasan Simbolik di Madrasah, (Ponorogo: Myria Publisher, 2020), 24. masyarakat feodal dan menggantinya dengan semacam mobilitas terbuka.52 Sekolah merupakan tempat paling strategis untuk menyalur- kan kebutuhan mobilitas vertikal dalam kerangka stratifikasi sosial. Dengan bantuan pendidikan, orang bisa naik dari kelas bawah ke kelas yang lebih tinggi. Banyak anak muda yang berhasil memulai karir mereka melalui sekolah, meskipun mereka memiliki status yang relatif rendah. Oleh karena itu, para orang tua berusaha menyekolahkan anaknya dengan harapan dapat mencapai hasil yang memuaskan untuk meningkatkan derajat dan status keluarga di kemudian hari. (4) Sekolah menyediakan tenaga pembangunan. Bagi negara-negara berkembang, pendidikan dipandang sebagai alat yang paling efektif untuk menyiapkan tenaga-tenaga produktif guna mendukung proses pembangunan. Kekayaan alam hanya penting bila didukung oleh keahlian. Oleh karena itu, manusia merupakan aset terpenting negara.53 Masyarakat sangat percaya bahwa orang yang berpendidikan sangat produktif dalam pelaksanaan tugas kerja, tanggap ter- hadap tuntutan keterampilan baru, dan mampu menunjukkan loyalitas yang lebih besar terhadap kehidupan kerja. Hal ini merupakan kesaksian kemajuan pendidikan di Indonesia pada saat semua orang dan lingkungan memiliki keinginan yang besar untuk membangun negaranya. 52 Ayu Wulandari, “JOM FISI” Faktor-Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah Di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru, Vol. 3 No. 1 (Februari 2016), 4. https://www.neliti.com/ publications/32955/faktor-faktor-penyebab-anak-putus-sekolah-di-kecamatan-senapelan- kota-pekanbaru (diakses 10 Februari 2023). 53 Siti Muri’ah, dan Gianto, Kekerasan Simbolik di Madrasah, 24. (5) Sekolah mengajarkan peran sosial. Pendidikan diharapkan membentuk manusia sosial yang dapat bergaul dengan sesama manusia sekalipun berbeda agama, suku bangsa, pendirian dan sebagainya.54 Ia juga harus mampu beradaptasi dengan situasi sosial yang berbeda-beda. Kalau diselidiki, tentu akan ditemukan bermacam-macam alasan lain mengapa orang tua menyekolahkan anaknya. Misalnya menyekolahkan anak perempuan sampai ada yang meminangnya, atau menitipkan anak pada pengasuhan guru karena lebih sulit mengasuhnya sendirian di rumah dan sebagainya. (6) Sebagai alat transmisi kebudayaan. Menurut Vembriart, fungsi transmisi budaya masyarakat kepada anak dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu (1) transmisi pengetahuan dan keterampilan dan (2) transmisi sikap, nilai dan norma. Transmisi pengetahuan ini meliputi keterampilan bahasa, sistem matematika, pengetahuan alam dan sosial, dan penemuan teknologi.55 Dalam masyarakat industri yang kompleks, fungsi transmisi pengetahuan tersebut sangat penting sehingga proses belajar di sekolah memakan waktu lebih lama, membutuhkan guru- guru dan lembaga yang khusus. Dalam arti sempit transmisi pengetahuan dan keterampilan itu berbentuk vocational training. Dalam rangka melestarikan bangsa dan negara diwariskan nilai-nilai budaya luhur bangsa yang dibudayakan oleh masyarakat. Kepada generasi muda diwariskan pola perilaku, budaya, norma, dan nilai-nilai luhur, cinta tanah air, menghormati 54 Iskandi, “Tawshiyah” Hubungan Pendidikan dengan Masyarakat dalam Perspektif Sosiologi, Vol. 15, No. 1 (2020), 6. https://jurnal.lp2msasbabel.ac.id/index.php/taw/article/ view/1331 (diakses 10 Februari 2023). 55 Muhammad Komarudin, dkk, “Jurnal Sustainable” Pendidikan dalam Mengatasi Problematika Masyarakat Perspektif Sosiologi Pendidikan Islam, Volume 5 Nomor 1 (2022), 197. https://www.jurnal.lp2msasbabel.ac.id/index.php/sus/article/view/3082 (diakses 10 Februari 2023). pahlawannya, setia kepada wilayah kedaulatan negara, dan menjaga rasa kesatuan dan persatuan bangsa. (7) Menciptakan integrasi sosial Dalam masyarakat yang heterogen dan majemuk, memastikan integrasi sosial merupakan tugas penting pendidikan sekolah. Orang Indonesia mengenal berbagai suku bangsa, masing- masing dengan adat istiadatnya sendiri, bahasa daerah yang berbeda, agama, pendapat politik, dan lain sebagainya. Dalam keadaan demikian bahaya disintegrasi sosial sangat besar. Sebab itu tugas pendidikan sekolah yang terpenting adalah menjamin integrasi sosia.56 56 Ayu Wulandari, “JOM FISI” Faktor-Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah Di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru, 4. Catatan: BAB V PENDIDIKAN DAN STRATIFIKASI SOSIAL P endidikan berkorelasi positif dengan status sosial. Menurut penelitian, terdapat korelasi yang tinggi antara status sosial sese- orang dengan tingkat pendidikan yang diselesaikan.57 Meskipun status sosial seseorang tidak dapat diprediksi sepenuhnya berdasarkan pen- didikannya, namun pendidikan yang lebih tinggi sangat erat kaitannya dengan status sosial yang tinggi. Ini tidak berarti bahwa pendidikan tinggi dengan sendirinya menjamin status sosial yang tinggi. Pendidikan menengah pada dasarnya adalah persiapan menuju pendidikan tinggi. Karena biaya kuliah biasanya tinggi, tidak semua orang tua mampu menyekolahkan anaknya di sana. Biasanya, anak-anak dari keluarga kaya pergi ke sekolah menengah untuk mempersiapkan kuliah. Orang tua dengan sumber daya keuangan yang terbatas memilih sekolah kejuruan untuk anak-anak mereka. Dari sini dapat diasumsikan sekolah kejuruan akan lebih banyak mempunyai murid dari golongan rendah dari pada golongan atas, sehingga muncul pendapat bahwa Sekolah Menengah Umum mem- punyai status yang lebih tinggi dari pada Sekolah Kejuruan. Mengenai hubungan antara status sosial dengan pendidikan ini telah banyak penelitian yang dilakukan terutama di Amerika Serikat. Pertama-tama ditemukan bahwa perbedaan kedudukan dalam pelapisan sosial berkaitan dengan perbedaan persepsi dan sikap- sikap serta cita-cita dan rencana pendidikan. Perbedaan tersebut dikalangan orang tua maupun kalangan remaja. Citra diri (self concept) juga berbeda-beda sesuai status dalam stratifikasi sosial. Hal-hal tersebut besar pengaruhnya terhadap keberhasilan belajar di sekolah. Tentu keberhasilan ini akan didukung oleh kemampuan dan didorong oleh orang tua untuk menyediakan 57 Taufik Mukmin, “el-Ghiroh” Hubungan Pendidikan dan Stratifikasi Sosial, Vol. XV, No. 02. (September 2018), 41 https://jurnal.staibsllg.ac.id/index.php/el-ghiroh/article/view/64. (diakses 10 Februari 2023). fasilitas-fasilitas pendidikan yang diperlukan. Mengenai yang terakhir ini kurang terdapat pada keluarga lapisan rendah.58 Perbedaan kualitas fasilitas pendidikan juga terlihat jelas antara yang terdapat dilingkungan perkotaan dan pedesaan. Berdasarkan kenyataan ini, dapat dipastikan bahwa kualitas persekolahan formal membantu menguatkan arus urbanisasi, karena orang tua yang mampu akan berusaha memperoleh fasilitas pendidikan yang baik di kota untuk anaknya, meskipun harus dibayar mahal dari segi ekonomi. Apakah yang demikian tidak berarti pemuda-pemuda desa yang berstatus sosial akan tetap ketinggalan dalam mobilitas sosial vertikalnya?. Masalah lain yang berkaitan dengan stratifikasi sosial adalah ma- salah bahan ajar. Bahan ajar yang termasuk dalam kurikulum dan buku teks bahkan ekstrakurikuler telah melalui seleksi tertentu. Analisis terhadap pemilihan materi dan kegiatan ekstrakurikuler menunjukkan bahwa beberapa kelas sosial memiliki peluang yang lebih banyak dibandingkan kelas lainnya. Waller pada tahun 1932 memberi gambaran yang bagus sekali tentang pengajaran bahasa yang diselenggarakan di sekolah. Pengajaran bahasa ini diselenggarakan di sekolah. Pengajaran bahasa ini merupakan kemudahan kepada pelajar yang berasal dari strata sosial menengah. Kata-kata dan ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam materi pengajaran terutama diambil dari perbendaharaan kata-kata dan ungkapan-ungkapan yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari strata sosial menengah. Terbukti bahwa peserta didik dari kelas sosial yang lebih rendah, yang tidak tahu bagaimana menggunakan kata dan ungkapan, mem- butuhkan usaha yang lebih besar untuk mengejar ketertinggalan daripada peserta didik dari kelas sosial menengah. Peristiwa semacam itu juga terdapat pada mata pelajaran lain seperti ilmu-ilmu sosial 58 Didin Saripudin, Interpretasi Sosiologis dalam Pendidikan (Bandung: Karya Putra Darwati, 2010), 43. yang membutuhkan perluasan pengetahuan melalui surat kabar, majalah, televisi, radio dan perjalanan ke daerah lain. Dalam hal ini pun peserta didik dari lapisan sosial rendah merupakan kelompok yang kurang beruntung. Tesis Randall Collins (1979) dalam The Credential Sociaty: An Historical Sociology of Education and Stratification menunjukkan, sistem persekolahan formal justru sebagai biangnya proses stratifikasi sosial. Anak-anak keluarga kaya di Indonesia misalnya lebih banyak menikmati fasilitas pendidikan yang sangat baik. Bahkan mereka sempat untuk menambah pengetahuan dengan les privat dan aneka buku, majalah, komputer, internet, dan lain-lain. Di sisi lain, anak-anak dari keluarga miskin harus bersekolah di sekolah yang tidak bermutu dan sistem pembelajarannya. Terakhir, lingkungan sekolah yang buruk menciptakan budaya kekerasan. Anak-anak dari keluarga miskin mudah emosi, agresif, dan frustrasi. Dengan kata lain, pendidikan formal menciptakan stratifikasi sosial dan semakin memperburuk ketimpangan. Mahalnya biaya pendidikan juga terkait dengan merosotnya perekonomian dunia. Pengangguran tersembunyi meningkat dan pertumbuhan populasi tetap tinggi. Dari sinilah muncul keresahan sosial dan berbagai konflik yang diakibatkan oleh ketimpangan sosial. Hukum Darwin siapa yang kuat dia yang menang berlaku. 59 Stratifikasi sosial itu merupakan gejala sosial yang tidak dapat dihindari, artinya terdapat pada setiap masyarakat. Selanjutnya, pandangan mengenai pendidikan, keperluan akan pendidikan dan dorongan serta cita-cita dan hal-hal lain yang berkenaan dengan pendidikan, diwarnai oleh stratifikasi sosial. Di lain pihak, system pendidikan berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat melalui fungsi seleksi, alokasi dan distribsi yang semuanya berakibat pada terbentuknya atau terpeliharanya stratifikasi sosial. 59 Ibid Jadi, secara langsung atau tidak langsung sistem pendidikan bersama dengan faktor-faktor lain di luar pendidikan melestarikan adanya sistem stratifikasi sosial. Apabila dalam segi kehidupan lain seperti ekonomi dan politik ada isyu tentang pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan (equality and inequality of education). Isu ini bukan hanya merupakan perdebatan dikalangan ahli dan peminat sosiologi pendidikan, melainkan juga di kalangan politisi yang memperjuangkan pemerataan distribusi berbagai fasilitas sosial di masyarakat. Pemerataan memperoleh pendidikan meliputi beberapa penger- tian. Pertama, setiap anak mendapat kesempatan belajar yang sama di sekolah. Kedua, setaiap anak memperoleh kesempatan belajar di sekolah sesuai dengan bakat dan minatnya. Ketiga, setiap anak memperoleh kesempatan mengembangkan pribadinya semaksimal mungkin. Isu ini sampai sekarang masih diperdebatkan di antara ahli dan politisi. Meskipun stratifikasi sosial tidak dapat dihindari, dalam masyarakat yang mengikuti sistem stratifikasi sosial terbuka, orang memiliki banyak kesempatan untuk mencoba menaiki tangga sosial yang lebih tinggi. Namun konsekuensinya juga kemungkinan jatuh atau jatuh dari tangga sosial. Naik turunnya stratifikasi sosial (mo- bilitas sosial) ini tidak terdapat dalam masyarakat yang menganut sistem stratifikasi sosial tertutup. Catatan: BAB VI PERUBAHAN SOSIAL DAN PENDIDIKAN P ada kenyataannya, tidak ada masyarakat yang bersifat statis, melainkan cenderung berubah. Yang konstan adalah perubahan itu sendiri. Perubahan dapat berupa: cepat atau lambat, kemajuan (progress) atau kemunduran (downfall) dan terbuka (manifest) atau laten (tersembunyi). Setiap perubahan dalam masyarakat selalu meningkatkan risiko kehidupan sosial atau kerawanan sosial. Tatanan sosial yang baru (modern) lebih menekankan pada rasionalisasi yang bersifat progresif dalam dunia kemasyarakatan. Dalam masyarakat yang mengalami transformasi, solidaritas bukan lagi menjadi prioritas, melainkan lebih individualis atau berorientasi pada pertimbangan untung rugi.60 Sekarang anak-anak kecanduan bermain “Playstation”. Mereka lebih tertarik dengan mainan elektronik daripada bermain “Dakon”, “Gobag Sodor”, dan lain lain. Akibatnya, anak-anak zaman sekarang cenderung individualistis. Gaya Hidup Instan menjadi bagian dari kehidupan komunitas seperti: KFC, Mc Donald’s, Mie Instan, dan lain lain. Akibat tidak langsung yang menonjol adalah: perilaku generasi muda tidak sabar dan intoleran, menyenangi sesuatu yang praktis dan cepat. Perubahan Sosial Sosiolog telah mengumpulkan dan menganalisis berbagai studi tentang perubahan sosial. Di antara berbagai kajian tersebut, kajian perubahan sosial dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa pertanyaan kunci, di antaranya sebagai berikut:61 1. Apa yang berubah? Pertanyaan ini ditujukan pada struktur sosial yang telah mengalami berbagai perubahan. Struktur sosial seperti 60 Ryan Indy, Fonny J. Waani, dan N. Kandowangko. “HOLISTIK, Journal Of Social and Culture” Peran Pendidikan dalam Proses Perubahan Sosial di Desa Tumaluntung Kecamatan Kauditan Kabupaten Minahasa Utara.” Vol. 12 No. 4 (Oktober Desember 2019), 3. https:// ejournal.unsrat.ac.id/index.php/holistik/article/view/25466 (diakses 10 Februari 2023). 61 S.W. Septiarti, dkk, Sosiologi dan Antropologi Pendidikan, (Yogyakarta: UNY Press, 2017), 158. keluarga, pranata sosial, pranata keagamaan, pranata politik dan berbagai pranata dalam masyarakat. 2. Bagaimana proses perubahan terjadi? Perubahan sosial ada yang cepat dan ada yang lambat. 3. Apa tujuan perubahan? Perubahan sosial bukanlah perubahan yang otomatis dan mekanistis, akan tetapi memiliki suatu tujuan. 4. Bagaimana kecepatan perubahan? Perubahan sosial ada yang bersifat revolusioner dan ada yang evolusioner. 5. Mengapa perubahan terjadi? Perubahan sosial terjadi karena sebab-sebab tertentu, baik faktor internal dalam masyarakat maupun faktor eksternal yang berasal dari luar masyarakat. 6. Faktor apa yang berperan dalam perubahan? Suatu perubahan mengenai kehidupan Bersama manusia tentunya memiliki berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut tidak berdiri sendiri, melainkan merupakan suatu jaringan dan berbagai faktor yang telah menyebabkan perubahan tersebut. Pertanyaan mendasar ini dapat dilihat dari perspektif yang berbeda. Perspektif sosiologis dan antropologis digunakan untuk menjelaskan perubahan sosial. Perubahan sosial memiliki banyak arti, tergantung pada perspektif dan pengalaman. Sejumlah sosiolog memberikan definisi yang beragam tentang perubahan sosial, antara lain sebagai berikut: 1. Selo Soemardjan mengartikan perubahan sosial sebagai peru- bahan pada lembaga kemasyarakatan yang memengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap, dan pola perikelakuan antar kelompok dalam masyarakat.62 2. W.F. Ogburn menjelaskan ruang lingkup perubahan sosial meli- puti unsur-unsur material dan non material. Yang ditekankan 62 Icol Dianto, “Sosiologi Reflektif” Paradigma Perubahan Sosial Perspektif Change Agent dalam Al-Quran: Analisis Tematik Kisah Nabi Yusuf as, Vol. 14 No. 1 (Oktober 2019), 63. https:// ejournal.uin-suka.ac.id/isoshum/sosiologireflektif/article/view/1476 (diakses 10 Februari 2023). adalah pengaruh unsur kebudayaan material terhadap unsur non material. Dalam kehidupan sosial, terdapat kemungkinan terjadinya cultural lag, yaitu komponen kebudayaan yang tertinggal dari perubahan sosial. Di mana laju perubahan bagian-bagian kebudayaan tidaklah sama. Bagian-bagian ter- tentu(kebudayaan material) berubah lebih cepat daripada bagian lainnya (kebudayaan non-material).63 3. Kingsley Davis menjelaskan bahwa perubahan sosial merupakan perubahan-perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi masyarakat.64 4. Samuel Koenig mengartikan perubahan sosial sebagai modifikasi- modifikasi yang terjadi pada pola-pola kehidupan manusia.65 5. Gillin & Gillin menguraikan bahwa perubahan sosial merupakan variasi dari cara-cara hidup yang telah diterima, yang disebabkan karena perubahan-perubahan kondisi geografis, kebudayaan material, komposisi penduduk, ideologi, maupun karena penemuan penemuan baru dalam masyarakat.66 Saat ini, masyarakat tidak hanya memasuki, tetapi juga meng- alami, era di mana globalisasi melepaskan kekuatan perubahan yang semakin besar. Globalisasi merupakan konsekuensi logis dari proses perubahan sosial dalam konteks global. Globalisasi menjadi arena pertikaian antara berbagai nilai sosial budaya yang berpengaruh di dalam dan di luar masyarakat. Globalisasi ditandai dengan diferensiasi perilaku masyarakat dan proses digitalisasi di berbagai bidang kehidupan masyarakat. Di era digital terjadi perubahan transformatif 63 Dwi Siswoyo, Joko Sri Sukardi, dan Ariefa Efianingrum, “Foundasia” Transformasi Nilai- Nilai Inti Budaya dalam Perbaikan Sekolah, Vol. 9 No. 1 (September 2018), 90. https://journal. uny.ac.id/index.php/foundasia/article/view/26163 (diakses 10 Februari 2023). 64 Ponirin, dan Lukitaningsih, Sosiologi, (Medan: Yayasan Kita Menulis, 2019), 100. 65 Ibid. 66 Kasnawi, M. Tahir, and Sulaiman Asang. “Konsep dan Pendekatan Perubahan Sosial”. Teori Perubahan So sial, Vol. IPEM4439/M (2014), 1.8. yang ditopang oleh kemajuan teknologi informasi yang pesat, seperti diungkapkan oleh Hamelink berikut ini: “CyberSpace is the virtual communicative space created by digital technologies. It is not limited to the operation of computer networks, but also encompasses all social activities in which digital information and communication technologies (ICTs) are deployed”67 Sejalan dengan hal tersebut, Brown menyatakan bahwa: “The inherent and related technologies have sparked the information age, in which the power of computing, digital storage, and communication have been increasing exponientally so as to allow an ever-growing amount of information to be distributed quickly and widely Dari beberapa pernyataan tersebut, dapat dimaknai bahwa budaya komunikasi modern yang mengglobal berimplikasi pada terjadinya perluasan horison mengenai masyarakat mereka sendiri maupun masyarakat lain. Cyberspace telah mengalihkan berbagai aktivitas manusia (politik, sosial, ekonomi, budaya, spiritual, seksual) di dunia nyata ke dalam berbagai bentuk pengganti artifisial, sehingga segala sesuatu yang dapat dilakukan di dunia nyata kini dilakukan dalam bentuk artifisialnya di dalam cyberspace. Migrasi besar-besaran kehidupan manusia tampaknya sedang terjadi, yaitu migrasi dari dunia nyata ke dunia maya, dari hidup di ruang nyata ke hidup di ruang maya.68 Selain itu, ada akselerasi (percepatan) tindakan orang yang berbeda. Karena pemahaman ini, keterampilan diperlukan untuk menghadapi realitas kehidupan yang semakin kompleks dalam masyarakat yang terus berubah. Keterampilan dalam menghadapi perubahan perlu senantiasa di up-date, sehingga masyarakat tidak dihinggapi virus keterkejutan budaya (cultural shock) dan kesenjangan digital (digital divide). 67 Hamelink, J. Cees, The Ethics of Cyberspace, (London: SAGE Publications, 2004), 1. 68 Yasraf Amir Pilliang, “Jurnal Sosioteknologi”, Masyarakat Informasi dan Digital: Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial.” 11.27 (Desember 2012), 145. https://multisite.itb.ac.id/kkik- fsrd/wp-content/uploads/sites/154/2007/04/1.P.-Yasraf.pdf (diakses 10 Februari 2023). Globalisasi kian mewarnai seluruh kehidupan manusia seiring dengan perkembangan pesat teknologi informasi. Proses globalisasi, seperti dikatakan oleh Peter F. Drucker telah melahirkan “the new realities”, yaitu kenyataan-kenyataan baru yang bisa jadi sama sekali berbeda dari kenyataan sebelumnya, bahkan seringkali tidak sesuai dengan prediksi dan ekspektasi masyarakat sebelumnya.69 Hadirnya realitas baru tersebut juga berimplikasi pada perubahan dalamberbagai aspek kehidupan di masyarakat, termasuk perubahan dalam new lifestyle (gaya hidup baru) seperti: e-learning, e-life, e-commerse, e-business, internet home, dan lain-lain. Dengan kemajuan teknologi informasi, menurut Don Tapscott telah lahir suatu generasi baru yang disebut the Net Generation (N-Gen), yaitu generasi baru yang hidup dalam dunia digital atau komputer, yang hidup dalam samudera informasi yang dapat diakses kapan saja dan di mana saja.70 Dalam kondisi tersebut, hadir apa yang dinamakan a virtual community (Brym and Lie, 2007), yang didefinisikan sebagai: An association of people, scattered across the country, continent, or planet, who communicate via computer and modem about a subject of common interest. Lebih lanjut menurut Brym and Lie, masyarakat virtual tersebut bercirikan: 1. Declining adult supervision and guidance Semakin berkurangnya peran orang dewasa dalam melakukan aktivitas kontrol sosial, seperti: memberikan pengarahan dan bimbingan kepada generasi muda. 2. Increasing mass media and peer group influence; Semakin meningkatnya pengaruh mass media dan pergaulan dengan teman sebaya terhadap generasi muda. 3. Declining extracurricular activities and increasing adult responsibilities 69 Ricky Wirasasmita, dan Erry Hendriawan, Implementasi Model Pendidikan Masyarakat pada Era Globalisasi. Mimbar Pendidikan, Vol. 5 No. 2,(September 2020), 165 70 Nur Hidha Rahma Dheny, Lahirnya Generasi Baru: The Net-Generation, Artikel tidak diterbitkan, (Universitas Airlangga,), 2. Semakin kecil porsi waktu untuk kegiatan ekstra kurikuler, pa- dahal kegiatan ektrakurikuler penting untuk pengembangan kepri- badian. Kenyataan tersebut tentunya memerlukan telaah dantafsir ulang supaya masyarakat (orang tua) tidak mengalami pelemahan dalam melakukan kontrol sosial terhadap anak-anak mereka (generasi muda). Guru di sekolah juga memiliki peran dalam melakukan kontrol terhadap para peserta didiknya. Hal demikian penting untuk diper- timbangkan sebagai counter terhadap dominasi media yang seolah menjadi pusat kontrol baru dalam menginstruksi dan memandu aktivitas anak-anak dan remaja. Akibat lain adalah terjadinya delegitimasi peran generasi tua. Bahkan prediksi yang memilukan adalah terjadinya the lost generation (hilangnya generasi). Tentunya hal ini memerlukan langkah antisipasi. Perubahan sosio-budaya dalam masyarakat memiliki keterkaitan dengan proses pendidikan. Terdapat hubungan dialektis antara pen- didikan dengan transformasi sosial. Dalam konteks Indonesia pasca reformasi, seiring dengan perubahan paradigma pada aras politik, diperlukan orientasi pedagogic baru. Struktur dan sistem organisasi pendidikan yang semula bersifat sentralistik mengalami pergeseran. Seiring dengan tuntutan reformasi pendidikan yang menghendaki pendekatan desentralisasi, maka perlu mewujudkan otonomi pen- didikan. Pedagogik baru tersebut mestinya tidak dipahami secara parsial, melainkan perlu dikaji secara komprehensif sekaligus men- dalam.71 Namun, wacana tentang pedagogik kritis, khususnya di kampus-kampus pendidikan belum berkembang sebagaimana yang diharapkan. Dalam pengertiannya yang luas, pendidikan memainkan peranan yang semakin besar dan penting untuk mewujudkan perubahan mendasar dalam cara kita hidup dan bertindak. Pendidikan merupakan 71 Tilaar. H.A.R. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, 161. kekuatan masa depan karena menjadi alat perubahan yang ampuh.72 Sedangkan Bertand Russel membedakan tujuan pendidikan menjadi dua, yang pertama adalah untuk membentuk pribadi yang utuh dan yang kedua adalah untuk menghasilkan warga negara yang baik.73 Membentuk warga negara yang baik berarti mengajarkan kepada mereka tentang kepatuhan yang tidak kreatif. Kreativitas merupakan penopang dalam perkembangan ilmu. Kedua tujuan tersebut tidak perlu dinegasikan dalam praktiknya, karena individu yang ideal adalah pribadi yang baik sekaligus kritis terhadap realitas yang mereka hadapi dalam kehidupannya. Pedagogik yang baik, dengan sendirinya adalah pedagogic yang kritis, karena pedagogik lahir dan berkembang oleh pikiran kritis manusia. Akan tetapi, dalam perkembangannya pikiran-pikiran kritis tersebut kurang berkembang, dan bahkan seringkali mengalami pelemahan sehingga pedagogik menjadi bersifat dogmatis. Hal ini perlu diperbaharui dengan pikiran kritis yang baru. Dalam pedagogic kritis, proses pendidikan diharapkan dapat mentransformasi kesadaran berpikir manusia. Manusia (antropos) hendaknya dilihat sebagai makhluk yang memiliki keunikan. Peda- gogik kritis perlu memerhatikan keunikan manusia Indonesia yang plural. Kenyataannya, seolah pendidikan cenderung menjadi proses penyeragaman yang sesungguhnya merugikan perkembangan individual, karena pada hakikatnya mereka memiliki keunikan yang perlu dipahami oleh pendidik. Oleh karenanya, para pendidik dan calon pendidik perlu memahami teori kritis dan praksisnya dalam pendidikan persekolahan, karena tugas mereka adalah menyiapkan 72 Angger Angelino Montolalu, “Politico: Jurnal Ilmu Politik”, Peranan Pemerintah dalam Mewujudkan Pendidikan Wajib Belajar di Kecamatan Matuari Kota Bitung, Vol. 1. No. 7 (2015) https://www.neliti.com/publications/1132/peranan-pemerintah-dalam-mewujudkan- pendidikan-wajib-belajar-di-kecamatan-matuar 1137. 73 Putera Astomo, ”Masalah-Masalah Hukum” Politik Hukum Penyelenggaraan Sistem Pendidikan Nasional Yang Responsif Di Era Globalisasi, Vol 50 No. 2 (April 2021), 175 https:// ejournal.undip.ac.id/index.php/mmh/article/view/33822/0 (diakses 10 Februari 2023). generasi sekaligus membangun kesadaran kritis dalam masyarakat yang demokratis dan transformatif. Sebagaimana dikemukakan oleh Bercaw & Stooksberry (1992) dalam pernyataan berikut: “A major goal of teacher education is to prepare individuals for informed citizenship in a democratic society. The goal of critical pedagogy is preparing citizens for participation in a democratic society. Three tenets of critical pedagogy are: a) reflection upon the individual’s culture or lived experience, b) development of voice through a critical look at one’s world and society, and c) transforming the society toward equality for all citizens through active participation in democratic imperatives. Tujuan utama pendidikan guru adalah menyiapkan individu sebagai warga terdidik dalam masyarakat demokratis. Sementara itu, tujuan dari pedagogik kritis adalah menyiapkan individu/warga untuk dapat berpartisipasi aktif dalam masyarakat demokratis. Dengan demikian, dalam pedagogik kritis, individu diposisikan sebagai subjek aktif yang mempu merefleksi diri sekaligus melakukan transformasi sosial dalam kehidupannya. Mereka perlu dididik supaya menguasai serangkaian pengetahuan yang penting dalam hidup melalui pengetahuan (kognitif), menguasai keterampilan (psikomotorik) melalui latihan, dan memahami nilai (afektif) melalui pemahaman dan pengalaman nilai-nilai kehidupan (living values). Mochtar Buchori dikutip Awaluddin Tjalla, dkk menyatakan bahwa pedagogi berkaitan dengan teori tentang bagaimana membimbing anak menuju kedewasaan. Pedagogik menyangkut bagaimana praksis membimbing anak menuju kedewasaan. Pedagogik lahir dan berkembang karena adanya pemikiran kritis tentang gagasan gagasan dan praksis pendidikan yang berlaku pada suatu kurun waktu.74 Dalam praktik dan kebijakan pendidikan, seringkali mengabaikan tren perkembangan penting dalam masyarakat. Padahal, seseorang 74 Awaluddin Tjalla, dkk, Orientasi Baru Pedagogi Abad 21, (Jakarta Timur: UNJ Press, 2020), 26. harus memahami perubahan yang terjadi di masyarakat. Ketidak- pahaman tentang makna perubahan mendasar akan membuat kita bersikukuh pada praksis pendidikan yang dibangun berdasarkan kaidah lama yang tidak diperbaharui. Keyidakpahaman pedagogik terhadap perubahan zaman terjadi karena tanpa disadari, pedagogik tereduksi dan membeku menjadi ilmu keguruan. Pedagogik mestinya berfokus pada persiapan generasi yang mampu memahami dan mampu menjalani tugas kehidupannya kelak dalam menghidupi diri mereka sendiri (to make a living), dapat hidup secara bermakna (to develop a meaningful life), bahkan memuliakan kehidupan (to ennoble life). Itulah makna pendidikan antisipatoris menurut Mochtar Buchori.75 Pendidikan antisipatoris menjangkau jauh ke depan, sehingga dapat dipersiapkan secara prediktif untuk mengantisipasi tantangan- tantangan perubahan dalam kehidupan di masa yang akan datang. Lahirnya pedagogi kritis tidak terlepas dari perkembangan pemikiran dan tindakan dalam kehidupan manusia, terutama pasca Perang Dunia Kedua. Melalui proses industrialisasi, kehidupan masyarakat berubah dan mencabutnya dari kehidupan nyata. Kegagalan berbagai pemikiran seperti: positivisme, komunisme, dan kapitalisme telah melahirkan alternatif pemikiran baru mengenai hakikat manusia, hakikat masyarakat, dan hakikat negara. Kondisi tersebut melahirkan pemikiran kritis untuk meninjau kembali berbagai persoalan dalam kehidupan manusia yang mengarah pada dehumanisasi. Dalam kondisi tersebut, kehidupan manusia seolah terperangkap dalam sistem dan struktur yang telah dibuatnya sendiri.76 Pemikiran dalam pedagogik kritis berlawanan dengan pedagogik tradisional. Pandangan pedagogik tradisional lebih tertuju pada perkembangan anak dalam keterpisahan dan isolasi dari kehidupan 75 S.W. Septiarti, dkk, Sosiologi dan Antropologi Pendidikan, 166. 76 Tilaar. H.A.R. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2002), 209-210. nyata. Sedangkan pedagogik kritis lebih menyoroti pendidikan di dalam struktur sosial politik. Dalam pedagogik kritis, pendidikan dilihat sebagai sarana untuk mempertahankan kondisi sosial atau ideologi yang berlaku.77 Menurut pandangan pedagogik kritis, mengisolasi tindakan pendidikan dari kehidupan nyata hanya akan menyebabkan terjadinya distorsi, antara lain kebutaan terhadap pengaruh sosial dalam masya- rakat terhadap proses pendidikan. Kekuatan politik, ekonomi, dan sosial budaya sangat memengaruhi proses pendidikan, bahkan menjadikan pendidikan sebagai alat legitimasi struktur kekuasaan.78 Dalam pedagogik kritis, pendidikan dipahami sebagai suatu arena perjuangan politik. Paradigma ini mengandaikan perubahan struktur secara fundamental dalam masyarakat. Dunia pendidikan mencerminkan diskriminasi antar kelas. Persoalan pendidikan terkait bagaimana melakukan refleksi kritis terhadap “the dominant ideology” (ideologi dominan) ke arah transformasi sosial. Visi pendidikan dalam paradigma kritis adalah melakukan kritik terhadap sistem dominan sebagai pemihakan terhadap kelompok marjinal yang tertindas untuk menciptakan sistem sosial baru yang lebih adil.79 Dengan demikian, tujuan pendidikan adalah menciptakan ruang untuk menghadirkan sikap kritis, serta melakukan dekonstruksi dan advokasi terhadap sistem dan struktur yang tidak adil. Inilah yang disebut kesadaran kritis untuk melakukan transformasi sosial untuk menciptakan struktur yang secara fundamental lebih baik. ”For Freire, education is more than a process in which thestudent simply accepts bodies of information provided by the teacher. Education, of which schooling is one part, is a struggle to overcome dominations of all sorts so that each person can grasp the meaning of one’s personal existence and future life. It is the process of self-emancipation.Helping students, 77 Ibid., 245. 78 Ibid.,308. 79 Toto Suharto, Pendidikan Berbasis Masyarakat; Relasi Negara dan Masyarakat dalam Pendidikan, (Yogyakarta: LKIS, 2017), 112. teachers, and others to acquire critical knowledge as a tool of analysis is to help develop critical literacy. Giroux insists that the development of critical literacy is hampered by the fact that the values and norms af the dominant social classes are incorporated into school curricula. Hence, the dominant group’s cultural practices, modes of thinking and knowing, life styles, language patterns, learning and communication style, and even political principles are transmitted both overtly and insidiously”. Bagi Freire, pendidikan merupakan sebuah proses di mana peserta didik menerima informasi yang diberikan oleh guru. Pen- didikan, dimana sekolah merupakan salah satu bagiannya, adalah perjuangan untuk mengatasi berbagai macam bentuk dominasi sehingga setiap orang dapat memahami makna keberadaan pribadi dalam kehidupannya. Hal ini merupakan proses emansipasi diri (self- emancipation). Pendidik mestinya memfasilitasi peserta didik untuk memperoleh pengetahuan yang dapat digunakan sebagai alat analisis dalam membantu mengembangkan literasi kritis. Giroux menegaskan bahwa pengembangan literasi kritis terhambat oleh kenyataan bahwa nilai- nilai dan norma-norma kelas sosial dominan dimasukkan ke dalam kurikulum sekolah.80 Oleh karena itu, praktik-praktik budaya kelompok dominan, cara berpikir, gaya hidup, pola bahasa, pembelajaran dan gaya komunikasi, dan bahkan prinsip-prinsip politik ditransmisikan secara terus menerus. 80 S.W. Septiarti, dkk, Sosiologi dan Antropologi Pendidikan, 168. BAB VII MASYARAKAT DAN KEBUDAYAAN SEKOLAH M asyarakat (sebagai terjemahan istilah society) adalah seke- lompok orang yang membentuk sebuah system semi tertutup (semi terbuku), dimana sebagian besar interaksi adalah antara individu-individu yang berbeda dalam kelompok tersebut. Kata “masyarakat sendiri berakar dari kata dalam bahasa Arab, Musyarak. Lebih abastraknya, sebuah masyarakat adalah suatu jaringan hubungan-hubungan antar entitas-entitas. Masyarakat adalah sebuah komunitas yang interdependen (saling tergantung satu sama lain). Umumnya, istilah masyarakat digunakan untuk mengacu sekelompok orang yang hidup bersama dalam satu komunitas yang teratur.81 Menurut Syaikh Taqyuddin An-Nabhani yang dikutip Miftahul Ulum, dkk, mengatakan sekolompok manusia dapat dikatakan sebagai sebuah masyarakat apabila memiliki pemikiran, perasaan, serta system/aturan yang sama. Dengan kesemaan-kesamaan tersebut, manusia kemudian berinteraksi sesama mereka berdasarkan kemaslahatan.82 Masyarakat sering diorganisasikan berdasarkan cara utamanya dalam bermata pencaharian. Pakar ilmu sosial mengidentifikasikan adanya masyarakat pemburu, masyarakat bercocok taman, dan masyarakat agricultural intensif yang juga disebut masyarakat peradaban. Sebagian pakar menganggap masyarakat industry dan pasca industry sebagai kelompok masyarakat yang terpisahkan dari masyarakat tradisional.83 Berikut di bawah ini adalah beberapa pengertian masyarakat menurut beberapa ahli sosiologi dunia, diantaranya: 81 Andreas G. Ch. Tampi, Evelin J.R. Kawung dan Juliana W. Tumiwa, “e-journal Acta Diurna” Dampak Pelayanan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Kesehatan Terhadap Masyarakat di Kelurahan Tingkulu, Volume V. No.1. (2016), 6. https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/ actadiurnakomunikasi/article/view/11717 (diakses 10 Februari 2023). 82 Miftahul Ulum, dkk, Eksistensi Manusia Perspektif Pendidikan, (Jawa Barat: Edu Publisher, 2021), 15. 83 Beni Ahmad Saebani, Sosiologi Industri Transformasi Menuju Masyarakat Post-Indusri, (Bandung: 2018), 298. 1. Mac Iver dan Page yang mengatakan bahwa; Masyarakat ialah suatu sistem dari kebiasaan dan tata cara, dari wewenang dan kerja sama antara berbagai kelompok dan penggolongan, dari pengawasan tingkah laku serta kebebesan-kebebesan manusia. Keseluruhan yang selalu berubah ini kita namakan masyarakat. Masyarakat merupakan jalinan hubungan sosial dan masyarakat selalu berubah.84 2. Ralph Linton, menyatakan masyarakat merupakan setiap manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.85 3. Karl Marx melihat masyarakat sebagai struktur yang terdapat ketegangan akibat pertentangan antarkelas sosial karena pembagian nilai-nilai ekonomi yang tidak merata di dalamnya.86 4. Emile Durkheim, masyarakat merupakan suatu kenyataan hidup objektif pribadi pribadi yang merupakan anggotanya.87 5. Paul B.Horton & C.Hunt, masyarakat merupakan kumpulan manusia yang relative mendiri, hidup bersama-sama dalam waktu yang cukup lama, tinggal diwilayah tertentu, mempenyai kebudayaan sama serta melakukan sebagian besar kegiatan di dalam kelompok/kumpulan manusia tersebut.88 6. Selo Sumardjan, masyarakat adalah orang–orang yang hidup bersama dan menghasilkan kebudayaan.89 84 Amruddin, dkk, Antropologi dan Sosiologi Kesehatan, (Bandung: Media Sains Indonesia: 2022), 7. 85 Ibid., 8. 86 Adon Nasrullah Jamaludin, Sosiologi Perkotaan Memahami Masyarakat Kota dan Problematikanya, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2017), 13. 87 Ibid. 88 Gunsu Nurmansyah, Nunung Rodliyah dan Recca Ayu Hapsari, Pengantar Antropologi Sebuah Ikhtisar Mengenal Antropologi, (Bandar Lampung: CV. Anugrah Utama Raharja, 2019), 47. 89 Ibid., 46. Dari lahir sampai mati manusia hidup sebagai anggota masya- rakat. Hidup dalam masyarakat berarti adanya interaksi sosial dengan orang-orang disekitar dan dengan demikian mengalami pengaruh dan mempengaruhi orang lain. Masyarakat sangat luas dan dapat meliputi seluruh umat manusia. Masyarakat terdiri atas berbagai kelompok, yang besar maupun yang kecil bergantung pada jumlah anggotannya. Dua orang atau lebih dapat merupakan kelompok. Tiap orang menjadi anggota keluarga yang terdiri atas ibu-ayah dan anak, keluarga besar yang juga mencakup paman, kakek, cucu dan sebagainya.90 Saat mengelompokkan, perbedaan sering dibuat antara kelompok primer dan kelompok sekunder. Kelompok primer adalah kelompok pertama dimana ia pertama kali berintegrasi dengan orang lain, yaitu keluarga, kelompok bermain dan lingkungan tempat tinggal. Pada kelompok primer terdapat hubungan tatap muka dalam suasana yang bersahabat. Kelompok ini biasanya mempelajari kebiasaan yang fundamental seperti bahasa, kerja bagus, perawatan diri, kerja sama dan persaingan, disiplin dan sebagainya. Kelompok primer ini disebut juga Gemeinschaft. Sedangkan kelompok sekunder dibentuk dengan sengaja atas pertimbangan tertentu bersadarkan kebutuhan tertentu seperti perkumpulan profesi, organisasi agama, partai politik. Anggotanya mungkin tak pernah saling bertemu. Kelompok sekunder ini dapat hidup lama melampaui suatu generasi. Kelompok sekunder ini sering disebut Gesellschaft.91 Manusia selalu memiliki naluri yang kuat untuk hidup bersama. Moshed untuk beberapa waktu. Mereka tahu bahwa mereka adalah satu kesatuan dan satu sistem hidup bersama. System kehidupan 90 Nurani Soyomukti, Pengantar Sosiologi: Dasar Analisis, Teori & Pendekatan Menuju Analisis Masalah-Masalah Sosial, Perubahan Sosial, & Kajian-Kajian Strategis, (Yogjakarta: Ar- Ruzz Media, 2014), 408. 91 S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, 60-61. bersama menimbulkan kebudayaan oleh karena itu, setiap anggota kelompok merasa terikat satu dengan lainnya. Apabila dibandingkan dengan makhluk hidup lain seperti hewan, misalnyan manusia tidak akan mengkin hidup sendiri. Manusia tanpa manusia lainnya pastikan mati, manusia yang dikurung sendirinan di suatu ruangan tertutup, pasti akan mengalami gangguan pada perkembangan pribadinya, sehingga lama kelamaan dia akan mati. Oleh karena itu, manusia pada dasarnya mempunyai hasrat/keinginan yang kuat dalam dirinya untuk menjadi satu dengan sesamanya atau manusia lain di sekitarnya masyarakat. Dan keinginan untuk menjadi satu dengan alam sekitarnya. Untuk memenuhi dan menyesuaikan diri dengan tuntutan lingkungan, yaitu lingkungan sosial dan lingkungan alam, manusia menggunakan pi- kiran, perasaan, dan kehendak. Selain itu, maka dalam menyerasikan diri dengan lingkungan-lingkungan tersebut manusia senantiasa hidup dengan sesaamanya, untuk menyempurnakan dan memperluas sikap tindakan agar tercapai kedamaian dengan lingkungannya. Dengan demikian, maka suatu masyarakat sebenarnya meru- pakan sistem adaptif, oleh karena masyarakat wadah untuk memenuhi berbagai kepentingan dan tentunya juga untuk dapat bertahan. Namun disemping itu, masyarakat sendiri juga mempunyai berbagai kebutuhan yang harus dipenuhi, agar masyarakat itu dapat hidup terus-menerus. Kebutuhan-kebutuhan itu adalah diantaranya: a). adanya populasi, b). informasi. c). Energi. d). Materi. e). Sistem komunikasi. f). Sistem Produksi. g). Sistem distribusi. h).sistem organisasi sosial. i). sistem pengendalian sosial dan perlindungan warga masyarakat terhadap ancaman-ancaman yang tertuju pada jiwa dan harta bendanya. Dalam hal ini masyarakat mempunyai komponen-komponen dasar yaitu: 1. Populasi, adalah warga-warga suatu masyarakat yang dilihat dari sudut pandangan kolektif. Secara sosiologis, maka aspek-aspek sosiologis yang perlu dipertimbangkan adalah; aspekaspek gene- tik yang konstan, veriabel-variebel genetik dan veriabel-veriabel demografis. 2. Kebudayaan, adalah hasil karya, cipta dan rasa dari kehidupan bersama yang mencukup, sistem lambang-lambang dan infor- masi. 3. Hasil-hasil kebudayaan material. 4. Organisasi sosial, ialah jaringan hubungan antara warga-warga masyarakat yang bersangkutan, yang antara lain mencakup; a.warga masyarakat secara individual. b. Peranan-peranan. c. Kelompok-kelompok sosial, d. Kelas–kelas sosial. 5. Lembang–lembang sosial dan sistemnya. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa masyarakat senantiasa merupakan suatu sistem, yang mencakup berbagai komponen dasar yang saling berkaitan secara fungsional.92 Sedangkan kebudayaan sekolah adalah sistem pendidikan mengembangkan pola kelakuan tertentu sesuai dengan apa yang diharapkan oleh masyarakat dan murid-murid. Kehidupan di sekolah serta norma-norma yang berlaku di situ dapat disebut dengan Kebudayaan Sekolah. Budaya sekolah adalah sekumpulan nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan symbol-simbol yang di praktekkan oleh kepala sekolah, pendidik, petugas administrasi, siswa dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di masyarakat luas.93 Walaupun kebudayaan sekolah merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat luas. Namun mempunyai ciri-ciri yang khas 92 Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: Rajawali Press, 2001), 26-29. 93 Eva Maryamah, “Tarbawi” Pengembangan Budaya Sekolah, Vol. 2. No. 02, (Juli-Desember 2016), 89 http://jurnal.uinbanten.ac.id/index.php/tarbawi/article/download/65/66. (diakses 10 Februari 2023). sebagai suatu “subculture”. Sekolah bertugas untuk menyampaikan kebudayaan kepada generasi baru dan harus selalu memperhatikan masyarakat dan kebudayaan umum. Akan tetapi disekolah itu sendiri timbul pola-pola kelakuan tertentu. Ini mungkin sekolah mempunyai kedudukan yang agak terpisah dari arus umum kebudayaan. Sebagaimana halnya dengan keluarga dan institusi sosial lainya sekolah merupakan salah satu institusi sosial yang mempengaruhi proses sosialisasi dan berfungsi mewariskan kebudayaan masyarakat kepada anak. Sekolah merupakan suatu sistem sosial yang mempunyai organisasi yang unik dan pola relasi diantara para anggotanya yang bersifat unik, hal ini dikarenakan tiap-tiap sekolah memiliki aturan tata tertib, kebiasaan, upacara-upacara, mars/hymne sekolah, pakaian seragam dan lambang-lambang yang lain yang memberikan corak khas kepada sekolah yang bersangkutan. Timbulnya sub-Kebudayaan sekolah juga terjadi oleh sebab sebagian yang cukup besar dari waktu murid terpisah dari kehidupan orang dewasa. Dalam situasi serupa ini dapat berkembang pola kelakuan yang khas bagi anak muda yang terlihat dari pakaian, bahasa, kebiasaan kegiatan-kegiatan serta upacara-upacara. sebab lain timbulnya kebudayaan sekolah ialah tugas sekolah yang khas yakni mendidik anak dengan menyampaikan sejumlah pengetahuan, sikap, terampilan yang sesuai dengan kurikulum dengan metode dan teknik control tertentu yang berlaku disekolah itu. Dalam melaksanakan kurikulum dan ekstra-kurikulum berkem- bang sejumlah pola kelakuan yang khas bagi sekolah, yang berbeda dengan yang terdapat pada kelompok–kelompok lain dalam ma- syarakat. Tiap kebudayaan mengandung bentuk kelakuan yang diharapkan dari anggotanya. Di sekolah diharapkan bentuk kelakuan tertentu dari semua murid dan guru. Itulah yang menjadi norma bagi setiap murid dan guru. Norma ini nyata dalam kelakuan anak dan guru, dalam peraturan-peraturan sekolah, dalam tindakan dan hukum terhadap pelanggaran, juga dalam berbagai kegiatan seperti upacara-upacara.94 1. Kenaikan kelas Belajar dengan rajin agar naik kelas merupakan patokan yang mempengaruhi kehidupan peserta didik selama bersekolah. Untuk itu ia harus menguasai bahan pelajaran yang ditentukan oleh kurikulum yang sering diolah dalam bentuk buku pelajaran, diktat atau kitab catatan. Dengan nilai atau tes ulangan pendidik menilai kemampuan peserta didiknya. Hak pendidik memberi angka memberinya kekuasaan yang disegani peserta didik. Ada juga pendidik yang bila perlu menggunakan angka itu untuk menegakkan kekuasaannya. Pendidik itu disebut “killer” sangat ditakuti.95 Angka rapor menjadi dasar bagi kenaikan kelas. Pemberian rapor dan penentuan kenaikan kelas sering dilakukan dengan upacara tertentu sekalipun sederhana. Tinggal kelas merupakan masalah yang berat bagi murid. Bagi peserta didik yang ber- sangkutan ini bahwa ia akan ditinggalkan oleh teman-temannya selama setidaknya satu tahun dan ia harus masuk kelompok anak- anak yang lebih muda daripadanya yang selama ini lebih rendah kedudukannya. Oleh sebab itu, kenaikan kelas merupakan hal yang sangat penting maka peserta didik biasanya belajar untuk memperoleh angka yang baik, walaupun ilmu itu juga penting. 2. Upacara-upacara Peristiwa yang biasanya dilakukan dengan upacara ialah penerimaan murid baru. Pada waktu yang lalu murid-murid SMA turut melakukan masa perkenalan, meniru kakak-kakak- nya diperguruan tinggi. Sebenarnya mereka mengikuti jejak 94 S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, 64. 95 Enjang Sudarman, Harries Madiistriyatno, Sosiologi dan Manajemen Pendidikan, (Edisi Revisi), (Tangerang: Indigo Media, 2022), 228. mahasiswa zaman kolonial, yang menerima mahasiswa baru dengan upacara perpeloncoan. Masa “perkenalan” itu memang banyak dan sering menyimpang dari tujuannya yakni memper- kenalkan sekolah sebagai lembaga pendidikan kepada peserta didik baru.96 Upacara yang menggembirakan ialah upacara wisuda yang melepaskan para pserta didik yang telah lulus yang kemudian akan melanjutkan pelajaran pada lembaga pendidikan yang lebih tinggi atau mengadu nasibnya dalam dunia pekerjaan. Upacara itu melambangkan beberapa hal: a. Untuk menyatakan besarnya nilai pendidikan bagi pembinaan generasi muda dan kepercayaan bahwa pendidikan memba- wa kemajuan bagi setiap peserta didik. Dalam penyelengga- raan sekolah sering diperlukan dukungan dan bantuan orang tua, spiritual, maupun materiil sebagai partner pemerintah. b. Bagi mereka yang lulus, wisuda itu merupakan pengakuan atas taraf pendidikan yang telah mereka capai. Wisuda mengakhiri periode tertentu dalam hidupnya dan membuka lembaran baru serta memasuki periode yang baru dan masa menuju kedewasaan. Selain itu wisuda merupakan tanda penghargaan atas keberhasilan peserta didik dalam pela- jarannya yang diperoleh dengan jerih payah. 3. Upacara Bendera Ada sekolah yang memulai sekolah dengan mengumpulkan peserta didik untuk upacara namun ada juga sekolah swasta mungkin mulai dengan do’a serta pengumuman dan petunjuk dari kepala sekolah. Ada pula yang memulai dengan senam pagi atau dengan kegiatan lain. Upacara ini selain mempunyai fungsi kontrol juga menanamkan rasa identifikasi peserta didik dengan 96 Ibid., 229. sekolahnya dan semangat persatuan serta rasa turut bertanggung jawab atas nama baik sekolahnya.97 Suatu upacara yang diwajibkan bagi tiap sekolah dinegara kita adalah upacara bendera pada setiap hari senin tiap minggu dan pada tanggal 17 tiap bulan. Upacara bertujuan untuk menanamkan rasa kebangsaan dengan meresapkan dasar pikiran, dan cita-cita serta norma-norma yang terkandung dalam UndangUndang Dasar 1945, Pancasila, dan Sumpah Pemuda. Kesempatan ini juga dapat digunakan oleh kepala sekolah untuk berbagai pengumuman dan petunjuk-petunjuk lainnya demi kebaikan sekolah. Upacara dianggap sebagai kesempatan yang yang penting untuk menyampaikan dan menerima pesan-pesan. Upacara-upacara lain yang terdapat disekolah ialah pergantian pengurus OSIS, penyerahan tanda penghargaan atas kemenangan atas kemenangan dalam berbagai pertandingan dan perlombaan kemenangan ini sangat meningkatkan rasa kebangsaaan atas sekolah sendiri serta identifikasi murid dengan sekolahnya. 97 Ibid., 230. BAB VIII STRUKTUR SOSIAL SEKOLAH A. Pengertian Struktur Sosial Sekolah Beberapa pakar memberikan definisi mengenai struktur sosial, yaitu: Menurut E. Kast dan James E. Rosenzweig, struktur diartikan sebagai pola hubungan komponen atau bagian suatu organisasi. Struktur merupakan system formal hubungan kerja yang membagi dan mengkoordinasikan tugas orang dan kelompok agar tercapai tujuan.98 Simon menambahkan, strukur itu sifatnya relatif stabil, statis dan berubah lambat atau memerlukan waktu untuk penyesuaian- penyesuaian.99 Adapun struktur sosial merupakan tatanan sosial dalam kehidupan masyarakat, yang di dalamnya terkandung hu- bungan timbal balik antara status dan peranan yang mengacu pada suatu keteraturan perilaku di dalam masyarakat. Struktur sosial mencakup berbagai hubungan sosial antara individu-individu secara teratur pada waktu tertentu yang merupakan keadaan statis dari suatu sistem sosial. Perangkat struktur sosial yang paling utama adalah status sosial. Material bagi sekolah/struktur sosial sekolah yaitu kepala sekolah, pendidik, pegawai, pesuruh, peserta didik laki-laki maupun peserta didik perempuan yang masing-masing memiliki kedudukan dan peranan yang berbeda satu dengan yang lainnya.100 Kemudian dalam struktur sosial terdapat sistem kedudukan dan peranan anggota-anggota kelompok yang kebanyakan bersifat hierarkis, yakni dari kedudukan yang tinggi yang memegang ke- kuasaan sampai pada kedudukan yang paling rendah. Struktur itulah yang memungkinkan sekolah menjalankan fungsinya sebagai lem- baga edukatif dengan baik. Masing-masing mempunyai kedudukan tertentu dan menjalankan peranan seperti yang diharapkan menurut 98 Retno Suryaningsih, “Tlutuh Sawo Jurnal Ilmiah Pendidikan Dan Humaniora” Pentingnya Organisasi Sekolah Bagi Pembangunan Pendidikan,: Vol. 5, No. 4, (April 2021), 58. https:// widyasari-press.com/wp-content/uploads/2021/05/6.-Retno-Suryaningsih-Pentingnya- Organisasi-Sekolah-Bagi-Pembangunan-Pendidikan-2.pdf (diakses 10 Februari 2023). 99 Desi Susanti, dkk, Management Ideas: Teori dan Penerapannya, Bandung: CV Media Sains Indonesia,2022), 104. 100 Nurdinah Hanifah, Sosiologi Pendidikan, (Sumedang: UPI Sumedang Press, 2016), 68. kedudukan itu sehingga hal ini dapat mencegah terjadinya berbagai konflik dan dapat menjamin kelancaran segala usaha pendidikan. Berdasarkan pengertian di atas, apabila struktur sosial dikaitkan dengan sekolah maka akan membentuk suatu pengertian bahwa struktur sosial sekolah yaitu tatanan sosial dalam ruang lingkup sekolah yang di dalamnya terdapat hubungan timbal balik antara se- sama warga sekolah mengenai status dan perannya yang di dalamnya terdiri dari kepala sekolah, pendidik, pegawai, pesuruh, dan murid. B. Kedudukan dan Peranan dalam Struktur Sosial Sekolah Dalam mempelajari struktur sosial sekolah akan kita selidiki berbagai jenis anggota menurut kedudukannya masing-masing dalam sistem persekolahan. Dalam setiap kedudukan, individu diharapkan menunjukkan pola kelakuan tertentu. Perbuatannya, ucapannya, perasaannya, nilai-nilainya dan sebagainya harus sesuai dengan apa yang diharapkan bertalian dengan kedudukannya. Menurut kedudukan atau posisinya ia harus menjalankan peranan tertentu. Peranan menentukan kelakuan yang diharapkan dalam situasi sosial tertentu. Kedudukan atau status akan menentukan posisi seseorang dalam struktur sosial, yaitu menentukan hubungannya dengan orang lain. Status atau kedudukan juga menentukan perilaku orang-orang ter- tentu. Semakin tinggi status seseorang, semakin tinggi struktur sosial- nya dan sebaliknya. Sedangkan peranan adalah konsekuensi atau akibat kedudukan atau status seseorang dalam suatu struktur sosial. Begitu pun dengan struktur sosial dalam sekolah, setiap orang yang memiliki kedudukan atau status di dalam sekolah tersebut akan memiliki peranan yang harus dijalankan sebagai konsekuensi dari status sosial yang melekat padanya. Peranan struktur sosial dalam sekolah meliputi tugas, peran, dan tanggung jawab dari para warga sekolah yang antara lain terdiri dari kepala sekolah, pendidik, dan peserta didik sebagai berikut: 1) Kepala sekolah Kepala sekolah dalam satuan pendidikan, menduduki dua jabatan penting untuk bisa menjamin kelangsungan proses pendidikan sebagaimana yang telah digariskan oleh peraturan perundang-undangan. Pertama, kepala sekolah adalah pengelola pendidikan disekolah secara keseluruhan. Kedua, kepala sekolah adalah pemimpin formal pendidikan di sekolahnya. Sebagai pengelola pendidikan berarti kepala sekolah bertang- gung jawab terhadap keberhasilan penyelenggaraan kegiatan pendidikan dengan cara melaksanakan administrasi sekolah dengan seluruh substansinya. Di samping itu kepala sekolah ber- tanggung jawab terhadap kualitas sumber daya manusia yang ada agar mereka mampu menjalankan tugas-tugas pendidikan. Oleh karena itu sebagai pengelola, kepala sekolah memiliki tugas untuk mengembangkan kinerja para personal (terutama para pendidik) kearah profesionalisme yang diharapkan. Kepala sekolah merupakan motor penggerak, penentu arah kebijakan sekolah yang akan menentukan bagaimana tujuan-tujuan sekolah dan pendidikan pada umumnya direalisasikan. Menurut Rahmi, dalam menjalankan fungsinya sebagai administrator, kepala sekolah harus mampu menguasai tugas- tugasnya dan melaksanakan tugasnya dengan baik.101 Untuk itu ia harus kreatif dan mampu memiliki ide-ide dan inisiatif yang menunjang perkembangan sekolah. Ide kreatifnya dapat digunakan untuk membuat perencanaan, menyusun organisasi sekolah, memberikan pengarahan, dan mengatur pembagian kerja, mengelola kepegawaian yang ada di lingkungan sekolah agar keseluruhan proses administrasi berjalan dengan lancar. 101 Rahmi, dkk. “At-Tarbiyah Jurnal Pendidikan Islam”, Peran Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Kompetensi Pendidik.” Vol. 11. No. 2 (2020), 22. https://ejournal.uinib.ac.id/jurnal/ index.php/attarbiyah/article/view/2174 (diakses 10 Februari 2023). Maka hal ini, kepala sekolah tidak hanya mengatur para pen- didik saja, melainkan juga ketatausahaan sekolah, peserta didik, hubungan sekolah dengan masyarakat dan orangtua peserta didik. Tercapai tidaknya tujuan sekolah sepenuhnya bergantung pada kebijaksanaan yang diterapkan kepala sekolah terhadap seluruh personal sekolah. 2. Guru (Pendidik) Peranan pendidik disini adalah berkewajiban untuk mendidik peserta didiknya dan berhak untuk mengharuskannya belajar dan belajar, dan bila perlu memberikannya hukuman ketika peserta didik melanggar norma. Kedudukan pendidik lebih rendah daripada kepala sekolah dan pendiidik juga mempunyai kedudukan sebagai mana seorang pegawai oleh karena itu ia harus menghormatinya dan bersedia untuk mematuhinya dalam hal-hal yang berkenaan dengan urusan sekolah, baik segala urusan yang ditetapkan oleh atasan pemerintah ataupun yayasan, kemudian apabila melakukan suatu pelanggaran maka sang guru tersebut dapat diberi tindakan yang setimpal, bahkan dipecat yang bisa berupa pencabutan sumber pendapatannya. Kedudukan pendidik tidak sama antara pendidik SD, SMP, dan SMA. Pendidik yang mengajarkan bidang studi tertentu dianggap lebih tinggi daripada yang lain. Pada umumnya bidang studi akademis seperti: matematika, fisika, kimia menduduki tempat yang lebih terhormat daripada yang memegang bidang studi agama, PKK, atau pendidikan jasmani yang tidak termasuk mata ujian dalam tes masuk Perguruan Tinggi. Kedudukan seorang pendidik juga dipengaruhi oleh masa kerja, kemampuan, usia dan pengalaman mengajar. Pendidik yang lebih tua mengharapkan rasa hormat dari pendidik baru atau yang lebih muda. Akan tetapi kedudukan pendidik dan kepala sekolah lebih rendah daripada petugas inspeksi yang mana telah mendapat mandat untuk mengawasi jalannya kegiatan sekolah. 3. Murid (Peserta Didik) Sekolah bagi peserta didik dapat dijadikan sebagai sistem persahabatan antar sesama teman dan adanya suatu interaksi hubungan sosial di lingkungan tersebut. Struktur sosial murid lebih bersifat tidak formal sedangkan pada orang dewasa seperti pendidik dan lain sebagainya itu lebih bersifat formal karena adanya pengaruh kedudukan yang berkaitan dengan jabatan yang telah ditentukan dan dirumuskan oleh suatu bagian sistem sosial dalam sekolah tersebut. Sedangkan peserta didik dalam kedudukannya sebagai peserta didik harus mematuhi pendidik dengan hak untuk menerima pelajaran. Kedudukan peserta didik hanya dikenal dalam lingkungan sekolah saja. Kebanyakan kedudukan peserta didik bersifat tidak formal dan hanya diketahui dalam kalangan sekolah saja, akan tetapi ada juga kedudukan peserta didik yang bersifat lebih for- mal seperti kedudukan ketua OSIS yang telah mempunyai bentuk resmi menurut ketentuan yang ada dalam sekolah itu. Di suatu sekolah kita dapat menemukan macam-macam kedudukan murid dan hubungan antar-murid antara lain: 1) Kedudukan dan hubungan berdasarkan usia dan tingkat kelas. 2) Kelompok persahabatan di sekolah. 3) Kelompok elite. 4) Kelompok peserta didik yang ikut organisasi formal, seperti OSIS dan Pramuka. Hubungan dalam struktur sosial sekolah suatu struktur sosial, di dalamnya terdapat individu yang memiliki kedudukan ter- tentu yang harus menjalin hubungan dengan individu lain yang berkedudukan sama maupun berbeda. Tujuan mengadakan hubungan ialah agar komunikasi bisa terjalin dengan baik dan masing-masing pihak dapat menjalankan peranannya dengan maksimal sesuai dengan kedudukannya. Tanpa adanya hubungan, mustahil struktur sosial dapat berjalan dengan harmonis. Dalam lingkup struktur sosial sekolah, hubungan yang terjadi meliputi hubungan antara guru dengan murid, guru dengan guru, maupun murid dengan murid. 4. Hubungan pendidik dengan peserta didik Hubungan antara pendidik) dan peserta didik mempunyai sifat yang relatif stabil. Ciri khas dari hubungan ini ialah bahwa terdapat status yang tak sama antara pendidik dan peserta didik. Dalam hubungan pendidik dengan peserta didik biasanya hanya peserta didik yang diharapkan mengalami perubahan kelakuan sebagai hasil belajar. Kemudian peserta didik diharapkan meng- alami perubahan kelakuan mengenai hal-hal tertentu yang lebih spesifik, misalnya agar anak menguasai bahan pelajaran tertentu. 5. Hubungan pendidik dengan pendidik Hubungan antara pendidik dengan pendidik biasanya ber- sifat pengelompokan sesuai dengan kelompok atau kesamaan tertentu. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pengelom- pokan tersebut antara lain; (1) Jenis kelamin, misalnya pendidik Wanita mempunyai kelompok sendiri untuk tujuan-tujuan yang khas wanita. (2) Minat profesional, misalnya pakar pendidikan untuk membahas masalah pendidikan. (3) Kesamaan minat, misalnya main kartu, olahraga, musik, dan lain-lain. 6. Hubungan peserta didik dengan peserta didik Sekolah bagi peserta didik dapat dipandang sebagai sistem persahabatan dan hubungan-hubungan soaial. Misalnya berda- sarkan dari minat yang sama dalam bidang olahraga akan membentuk suatu komunitas. Begitu juga dengan hubungan so- sial antar peserta didik yang terbentuk dari keorganisasian yang diikuti seperti Pramuka ataupun OSIS. Namun, di dalam struktur sosial sekolah terkadang terjadi hubungan yang tidak harmonis antar anggota struktur tersebut. Hal itu dapat disebabkan oleh bermacam-macam faktor. Salah satu contohya adalah seorang kepala sekolah yang kurang berani dalam membuat keputusan yang disebabkan karena usianya yang lebih muda dari pada pendidik lain yang sudah se- nior. Kasus tersebut menunjukkan bahwa usia dapat menjadi salah satu faktor penyebab kurang harmonisnya hubungan dalam struktur sosial sekolah. Maka untuk menyelesaikan masalah ter- sebut, perlu adanya pihak ketiga yang ikut menengahi masalah. Salah satu solusinya kepala sekolah mengadakan pertemuan dewan pendidik untuk mengadakan rapat koordinasi tiap sebulan sekali. BAB IX KEDUDUKAN GURU DI SEKOLAH A. Pengertian Guru Secara harfiah, guru dapat diartikan sebagai “orang yang peker- jaannya mengajar.102 Dalam bahasa Inggris guru disebut teacher yang berasal dari kata to teach yang oleh Sally Wehmeier diartikan sebagai to give lessons to student in a school, collage, university etc. (Sally Wehmeier: 1517). Menurut A. Malik Fajar, guru merupakan sosok yang mengemban tugas mengajar, mendidik, dan membimbing (A. Malik Fajar, 1988). Dalam Undang-Undang RI Nomor 14 Tahun 2005 tentang guru dan dosen pada Bab I pasal 1 ayat (1) dijelaskan bahwa: Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, mem- bimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan meng-evaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendi-dikan formal, pen- didikan dasar, dan pendidikan menengah.103 Dengan demikian, guru adalah tenaga profesional dalam me- laksanakan fungsinya, baik mendidik, mengajar, mengarahkan, melatih, menilai maupun mengevaluasi pesert didik. Guru adalah tenaga terdepan membuka cakrawala peserta didik memasuki dunia ilmu pengetahuan dan dunia masyarakat di mana mereka akan mengimplementasikan apa yang didapatkan dari gurunya dan pengamalannya. B. Kedudukan Guru di Sekolah Dalam ilmu sosiologi, biasa ditemukan istilah status (kedudukan) dan peranan. Status biasanya dikaitkan dengan peringkat atau posisi seseorang dalam suatu kelompok dan posisi kelompok dalam kelompok lain, sedangkan peranan merupakan suatu perilaku yang diharapkan dari seseorang yang memiliki suatu status tertentu. Guru merupakan suatu status dalam masyarakat yang dengan status 102 WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1976), 335. 103 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, 2. tersebut, masyarakat mengharapkan peran-peran yang muncul dari status tersebut. Seseorang, termasuk guru, bisa saja memiliki lebih dari satu peran, misalnya guru sebagai pengajar, pendidik, contoh tela- dan, dan sebagainya. S. Nasution misalnya mengatakan peranan guru di sekolah ditentukan oleh kedudukannya sebagai orang dewasa, sebagai peng-ajar, dan sebagai pegawai.104 Guru merupakan jabatan profesional yang memegang peranan yang amat strategis dalam pembangunan bangsa. Sebuah hipotesis yang terba-ngun secara akademis menyatakan bahwa semakin tinggi tingkat pendidikan masyarakat, masyarakat itu akan menjadi cerdas, dan semakin cerdas suatu masyarakat akan meningkat juga tingkat kesejahteraannya. Bertolak dari hipotesis tersebut, dapat dipahami bahwa kedu- dukan seba-gai guru merupakan jabatan yang sangat menentukan nasib bangsa ke depan, dan itu berarti bahwa guru memegang peranan yang amat menentukan dan strategis. Hal ini dapat dipahami mengingat bahwa perubahan dan nasib suatu bangsa harus dimulai dari sekolah (lembaga pendidikan) yang penggerak utamanya adalah para guru. Itulah sebabnya di berbagai negara maju, guru sangat dihargai. Pada sejumlah negara maju seperti Jepang dan Amerika, guru sangat dihargai secara profesional. Bangsa Jepang menyadari bahwa guru yang ber-mutu merupakan kunci keberhasilan pembangunan. Mereka menggambarkan peranan guru dengan semboyan “she no on wa yama yori mo takai, umi yori mo fukai”, yang berarti jasa guru lebih tinggi dari gunung yang lebih tinggi, lebih dalam dari laut yang dalam. Guru di sejumlah negara dihargai karena guru secara spesifik, 1) memiliki kecakapan dan kemampuan untuk memimpin dan mengelola pendidikan; 2) memiliki ketajaman pemahaman dan keca- kapan intelektual, cerdas emosional dan sosial untuk membangun pendidikan yang bermutu; dan 3) memiliki perencanaan yang matang, 104 S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, 91. bijaksana, kontekstual, dan efektif untuk membangun humanware (SDM) yang unggul, bermartabat, dan memiliki daya saing. Sedemikan betapa berat peranan yang di pundak para guru, menjadikan jabatan guru harus dihargai sebagai jabatan profesional seperti jabatan profesional lainnya. Hal ini terjadi di negara-negara maju seperti Jepang yang memberi gaji yang tinggi terhadap pro- fesi guru. Mereka berpendapat bahwa perubahan yang inovatif, baik dalam bentuk ide maupun karya nyata berwujud benda dan sebagiannya, merupakan hasil pemikiran cemerlang para guru. Cukup banyak ide guru yang diadopsi dan diadaptasi menjadi inspirasi kemajuan bangsa. Dalam kaitannya dengan proses pem- belajaran, betapapun bagusnya kurikulum dengan menentukan standar isi yang tinggi, bila tidak tersedia tenaga guru yang profe- sional, maka tujuan kurikulum dan standar isi yang bagus akan sia-sia. Dalam kaitannya dengan peranan guru di sekolah, pembahasan diarahkan pada dua konteks, yaitu: 1. Kedudukan guru dalam hubungannya dengan peserta didik Dalam Kode Etik Guru Indonesia dengan jelas dituliskan bahwa “Guru berbakti membimbing peserta didik untuk mem- bentuk manusia Indonesia seutuhnya yang berjiwa Pancasila”.105 Dalam Kode Etik Guru Indonesia tersebut, jelas sekali kedudukan guru dalam kaitannya peserta didik, yakni sebagai pembimbing. Pembimbing mengandung makna yang cu-kup dalam yang bisa bermakna, mendidik, mengajar, melatih, dan seterusnya seperti yang tertuang dalam Undang-Undang RI Nomor 14 tahun 2005. Kedudukan atau peranan guru terhadap peserta didik meru- pakan peranan yang amat vital dari sekian banyak peran yang harus dijalani. Hal ini disebabkan karena komunitas utama yang menjadi wilayah tugas guru adalah di dalam kelas. Di kelas itulah 105 Soetjipto dan Reflis Kosasihm, Profesi Keguruan, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), 49. seorang guru memberikan ilmu pengetahuan, pengalaman, dan keteladanan. Di sekolah, guru berhadapan dengan peserta didik- nya, baik dalam situasi formal maupun nonformal. Dalam situasi formal, seorang guru harus sedikit “memaksa” peserta didik untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah dirumuskannya, sehingga seorang guru harus “menguasai” kelas demi tercapainya tujuan pembelajaran. Situasi seperti ini meng- haruskan guru menempatkan diri sebagai seorang yang mem- punyai wibawa dan otoritas yang tinggi. Di samping kewibawaan, guru juga harus memiliki keteladanan. Keteladanan dan kewiba- waan sangat diperlukan seorang guru untuk menegakkan disiplin demi kelancaran dan ketertiban proses pembelajaran. Kewi- bawaan dalam pendidikan menjadi syarat mutlak. Pendidikan dalam arti yang seutuhnya hanya bisa dimulai ketika seorang anak telah mengenal kewibawaan. Bimbingan dan pendidikan hanya mungkin bila ada kepatuhan dari pihak anak dan kepatuhan diperoleh apabila pendidik mempunyai kewibawaan. Dalam kaitannya dengan peran guru di sekolah atau kondisi formal, khususnya dalam proses pembelajaran, guru mempunyai peran antara lain: a. Harus memahami perbedaan individual peserta didiknya; b. Melakukan identifikasi atau kekuatan dan kekurangan atau kelemahan c. peserta didiknya; d. Mengelompokkan peserta didik dalam kelas sesuai dengan tingkat permasalahan yang perlu diatasi; e. Bekerjasama dengan orang tua dan profesi lain untuk menda- patkan hasil f. pembelajaran yang optimal; g. Menyiapkan materi, strategi, dan media pembelajaran yang dibutuhkan h. oleh peserta didik; i. Guru mengadakan model pengayaan untuk anak yang me- miliki kecepatan dan menyiapkan layanan remedial bagi anak yang memiliki kecepatan belajar yang rendah; j. Dalam mengadakan evaluasi, guru sebaiknya tidak cukup hanya mengukur aspek akademik, namun asek-aspek non akademik perlu dipertimbangkan; k. Mengadakan umpan balik atas keberhasilan yang dicapai dan melaporkan kepada kepala sekolah dan orang tua murid. Melihat peran yang diemban seorang guru, sudah sewajarnya jika status sebagai guru dikelola secara profesional, dan dihargai pula secara profesional, seperti halnya dengan profesi yang lain, misanya dokter dan ahli hukum. Pada kondisi nonformal, misalnya rekreasi, guru dapat mengendorkan jarak sosial. Guru hendaknya menyesuaikan pe- ranannya menurut situasi sosial yang dihadapinya. Guru yang ber- pengalaman dapat menjalankan peranannya dalam situasi sosial yang dihadapinya. Guru hendaknya menyadari bahwa kegagalan dalam hal ini akan merusakkan kedudukannya dalam pandangan murid, kepala sekolah, teman guru, dan orang tua murid. Dalam kaitannya dengan pembelajaran di sekolah dan hu- bungannya dengan peserta didik, guru dituntut memiliki kualifi- kasi akademik dan kompetensi yang dipersyaratkan. Kualifikasi akademik meliputi tingkat pendidikan tertentu yang harus dilalui seperti jenjang Strata Satu (S.1). Selain kualifikasi akademik, para guru dituntut untuk memiliki kompetensi, baik kompetensi keilmuan maupun kompetensi pribadi dan kemasyarakatan yang dijabarkan dalam empat kompetensi, yang meliputi: kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional serta kompetensi menejerial. 2. Peranan guru terhadap guru lain Jabatan sebagai guru, khususnya di negara kita telah ber- naung dan diwadahi oleh beberapa organisasi profesi guru, seperti PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), PGTK (Persa- tuan Guru Taman Kanak-Kanak), dan lain sebagainya. Ini menun- jukkan bahwa guru berperan dalam komunitasnya sendiri. Lewat orgaisasi-organisasi ini, para guru bisa berkomunikasi dan mem- perjuangkan kepentingan bersama dengan semangat keber- samaan yang tinggi, sehingga apa yang menjadi keinginan para guru relatif lebih mudah dicapai. Persoalannya adalah sudah sejauh mana program dan ke- giatan organi-sasi profesi keguruan seperti PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia), PGTK (Persatuan Guru Taman Kanak-Kanak), dan lain sebagainya, telah menyentuh hak-hak dan kebutuhan diri guru serta pengembangan karirnya? Seharusnya peranan yang diemban oleh organisasi kegu- ruan tersebut dapat mengangkat martabat guru yang menjadi anggotanya, memberi perlindungan hukum bagi guru, memfa- silitasi peningkatan kesejahteraan guru, memandu dan meng- usahakan peluang untuk mengembangkan karir guru dan ikut memecahkan konflik-konflik dan masalah-masalah yang dialami atau dihadapi para guru. Harapan tersebut dalam kenyataannya masih jauh seperti pepatah mengatakan jauh panggang dari api. Artinya antara harapan dan kenyataaan masih menyisakan permasalahan yang sangat banyak. Paling tragis adalah, bahwa di berbagai tempat, organisasi keguruan yang seharusnya memperjuangkan hak- hak guru yang terabaikan, justru menjadi kendaraan politik oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan golongan dan kelompok tertentu. Hak-hak guru menjadi terabaikan. Tidak heran jika apa yang diharapkan oleh para guru seba- gai tulang punggung kemajuan bangsa hanya terlayani secara minimal. Menjadi tontonan umum bahwa sebagian besar para guru tidak atau belum mendapatkan hak-hak pemenuhan kebu- tuhan minimal sebagai warga masyarakat, seperti yang telah di- ungkapkan pada bagian latar belakang mengangkat hal ini dalam tulisan. Hal ini dapat menyebabkan profesi guru menjadi sesuatu yang tidak membanggakan, yang pada akhirnya akan berdampak pada terabaikannya tugas-tugas guru dalam mengajar. Beberapa tahun terakhir, nasib guru telah mendapat perha- tian dari pemerintah melalui sertifikasi guru yang telah mem- berikan perbaikan kesejahteraan bagi para guru, namun hal itu belum merata ke semua guru dengan alasan keterbatasan anggaran negara. Di sinilah sebenarnya peran organisasi profesi keguruan untuk memperjuangkan hak-hak para guru. Dengan demikian, permasalahan yang dihadapi oleh para guru, terlihat semakin kompleks, baik dalam kaitannya dengan perannya di sekolah sebagai pengajar maupun berperan di ka- langan sesama guru untuk menjalin komunikasi dan memper- juangkan kepentingan bersama dengan semangat kebersa-maan yang tinggi. C. Kedudukan/Peranan Guru Di Masyarakat Peranan guru dalam masyarakat tergantung pada gambaran masyarakat tentang kedudukan dan status sosialnya di masyarakat. Di negara-negara maju, seperti Jepang dan Amerika Serikat, biasanya guru ditempatkan pada posisi sosial yang tinggi karena peranannya yang penting dalam proses mencerdaskan bangsa. Namun, keadaan semacam ini jarang dijumpai pada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Di negara berkembang seperti Indonesia, rencana peningkatan status sosial guru hanya menjadi wacana dan tidak seperti di negara industri, tidak terealisasi dalam pelaksanaannya. Mereka mengakui bahwa hipotesis yang dikembangkan secara akademis adalah semakin tinggi pendidikan suatu bangsa, semakin cerdas bangsa tersebut, dan semakin cerdas bangsa tersebut, semakin tinggi kesejahteraannya. Hipotesis ini mereka tanggapi dengan upaya, yakni dengan memak- simalkan peran guru. Sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan suatu bangsa, maka semakin rendah pula kecerdasan dan tingkat kesejahteraan bangsa tersebut. Karena itu, nasib dan kesejahteraan bangsa ada di tangan para guru. Itulah sebabnya negara-negara maju memberi guru nilai yang sangat tinggi dan peran yang sangat tinggi. Apa yang terjadi dengan profesi guru? Harus diakui secara jujur bahwa profesi guru masih memerlukan pengembangan yang serius. Basuni dalam Djam’an Satori mengemukakan bahwa, ada empat misi utama PGRI sebagai pembina profesi guru, meliputi misi politis/ idiologi, persatuan organisasi, profesi, dan kesejahteraan.106 Misi profesional sampai saat ini masih lebih banyak mengandalkan peme- rintah, demikian juga halnya dengan misi kesejahteraan masih perlu ditingkatkan. Siraj mengatakan bahwa guru sebagai jabatan professional akan mempunyai citra di masyarakat apabila ia menunjukkan kepa- da masyarakat bahwa ia layak jadi panutan atau teladan. Masya- rakat akan melihat sikap dan perbuatan guru sehari-hari, baik yang berhubungan dengan pelayanannya, pengetahuannya, cara ber- pakaiannya, cara bicaranya maupun cara bergaul, dengan peserta didiknya, teman-temannya, dan anggota masyarakat, akan menjadi perhatian masyarakat luas.107 Peranan guru di masyarakat juga tidak terlepas dari kualitas pribadi seorang guru serta kompetensi mereka dalam bekerja. Peng- hargaan terhadap para guru akan sulit untuk berperan dan menda- 106 Djam’an Satori, Profesi Keguruan dalam Mengembangkan Siswa, (Jakarta: Universitas Terbuka 2015), 1.32. 107 Siraj, Profesi Pendidikan: Tinjauan Teoritik Manajemen Pengembangan Profefesional Guru, (Jawa Barat: PT Kimshafi Alung Cipta, 2022), 38. patkan kedudukan sosial yang tinggi jika seorang guru tidak memiliki kecakapan dan kompetensi di bidangnya. Dalam prespektif perubahan sosial, guru yang baik tidak saja harus mampu melaksanakan tugas profesionalnya di dalam kelas, tetapi harus pula berperan tugas-tugas pembelajaran di luar kelas dan di dalam masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan kedudukan mereka sebagai agen pembaruan, agen of change, berperan sebagai innovator, motivator, fasilitator, terhadap kemajuan dan pembaruan dalam masyarakat. Guru dalam masyarakat adalah sebagai pemimpin yang menjadi panutan dan teladan bagi masyarakat sekitar. Mereka adalah peme- gang norma dan nilai-nilai yang harus dijaga dan dilaksanakan. S. Nasution mengatakan, bahwa di masyarakat, guru harus selalu sadar akan kedudukannya selama 24 jam sehari. Di mana dan kapan saja, ia akan selalu di pandang sebagai guru yang harus memperlihatkan kelakuan yang dapat ditiru oleh masya- rakat, khususnya peserta didiknya. Masyarakat tidak dapat membe- narkan pelanggaran-pelanggaran, seperti berjudi, mabuk, apalagi jika perbuatan itu dilakukan oleh guru. Hal itu akan dianggap sangat serius. Dalam masyarakat, muncul anggapan bahwa orang yang kurang bermoral tidak akan mungkin menghasilkan peserta didik yang mempunyai etika tinggi.108 Persoalan peranan guru memang dilematis. Pada suatu sisi guru dituntut sebagai agen pembaruan, tetapi di sisi lain nasib sebagian para guru belum tersentuh kesejahteraan. Status sosial mereka dihormati dan diakui sebagai jabatan profesional, namun penghar- gaan secara ekonomis belum merata. Sebagian mereka belum bisa mengandalkan penghasilannya sebagai guru untuk menutupi kebutuhan ekonomi keluarganya yang paling primer, sehingga mereka tidak bisa fokus pada pekerjaannya 108 S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, 91. sebagai guru. Hal ini akan sangat menggangngu peningkatan kualitas pendidikan yang sekaligus menghambat kualitas sumber daya manusia bangsa ini. Solusi yang dapat dilakukan adalah tingkatkan kesejahteraan guru secara merata di seluruh tanah air dan pada saat yang bersamaan guru dituntut untuk meningkatkan kualitas profesional yakni: a. Memiliki keualitas keperibadian; b. Memiliki pengetahuan dan pemahaman profesi kependidikan; c. Memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang bidang spe- sialisasi; d. Memiliki kemampuan dan keterampilan profesi.109 Masyarakat, baik yang terdidik maupun yang belum pernah sekolah sekalipun, mempunyai gambaran tentang guru sehingga terbentuklah dalam masyarakat streotipe (pelabelan) terhadap para guru. Sebuah penelitian tentang streotipe guru, menggambarkan bahwa dalam masyarakat, guru memiliki ciri-ciri sebagai berikut: a. Guru tidak memperlihatkan keperibadian yang fleksibel, tetapi cenderung mempunyai pendirian yang tegas dan sulit menerima kebenaran dari orang lain; b. Guru pandai menahan diri, hati-hati, dan tidak segera mence- burkan diri dalam pergaulan dengan orang lain; c. Guru cenderung menjauhkan diri karena hambata batin untuk segera bergaul secara intim dengan orang lain; d. Guru berusaha menjaga harga diri dan merasa keterkaitan ke- lakuannya pada norma-norma yang berkenan dengan kedu- dukannya; e. Guru cenderung bersikap otoriter dan ingin menggurui dalam diskusi, karena terbiasa dengan sifat serba tahu dalam kelas; f. Guru cenderung bersikap konservatif; 109 Sulaiman Saat, “Auladuna”, Guru: Status dan Kedudukannya di Sekolah dan Dalam Masyarakat, VOL. 1 NO. 1 (JUNI 2014), 111 https://core.ac.uk/download/pdf/234746378.pdf (diakses 10 Februari 2023). g. Pada umumnya tidak mempunyai motivasi yang kuat untuk men- jadi guru, hanya karena pilihan lain tertutup; h. i. j. k. Tidak mempunyai ambisi yang kuat untuk mencapai kemajuan; Cenderung mengikuti pimpinan daripada memberi pimpinan; Kurang agresif menghadapi berbagai masalah; Cenderung memandang guru-guru sebagai kelompok yang berbeda dengan golongan kerja yang lain; l. Menunjukkan kesediaan untuk berbakti dan berjasa.110 Dengan demikian, dapat dipahami bahwa guru merupakan jabatan profesi yang seharusnya dihargai secara profesional, baik dari segi status di dalam masyarakat maupun dari segi ekonomi atau kesejahteraan. Penghargaan yang seharusnya diberikan kepada guru diharapkan dapat memacu peningkatan kualitas guru sendiri yang pada gilirannya akan meningkatkan kualitas sumber daya manusia sebagai aset bangsa yang akan mengangkat derajat dan martabat bangsa itu sendiri. Kiranya tidak ada jalan lain untuk memperbaiki bangsa ini selain memperbaiki mutu pendidikan terlebih dahulu. Perbaikan terhadap mutu dan kualitas pendidikan harus berangkat dari memperbaiki nasib para guru sebagai ujung tombak pembangunan sumber daya manusia. Tanpa melakukan hal itu, bangsa ini tidak akan mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Di tangan gurulah tergenggam peran yang amat menentukan perjalanan bangsa ini. Tidak ada bangsa di dunia ini menjadi bangsa yang besar tanpa menghargai pendidikan, yang tanggung jawab di dalamnya berada di tangan para guru. 110 S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, 104. BAB X PERANAN GURU DAN KELAKUAN MURID A. Pengertian dan Macam-Macam Peran Guru Ngalim Purwanto menegaskan bahwa peran guru (pendidik) adalah terciptanya serangkaian tingkah yang saling berkaitan yang dilakukan dalam situasi tertentu serta berhubungan dengan kemajuan perubahan tingkah laku dan perkembangan peserta didik yang menjadi tujuannya.111 Guru sekolah yang tugas pekerjaannya kecuali mengajar, mem- berikan macam-macam ilmu pengetahuan dan ketrampilan kepada anak-anak juga mendidik. Pekerjaan sebagai guru adalah pekerjaan yang luhur dan mulia baik ditinjau dari sudut masyarakat dan Negara ataupun ditinjau dari sudut keagamaan. Guru sebagai pendidik adalah seseorang yang berjasa besar terhadap masyarakat dan Negara sehingga tidak salah pepatah mengatakan bahwa pendidik adalah pahlawan tanpa tanda jasa. Selain sebagai aktor utama kesuksesan pendidikan yang dicanangkan. Ada beberapa peran dan fungsi lain seorang pendidik, antara lain sebagai berikut: 1. Educator Tugas pertama pendidik adalah mendidik peserta didik sesuai dengan materi pelajaran yang diberikan kepadanya. Sebagai seorang educator, ilmu adalah syarat utama. Membaca, menulis, berdiskusi, mengikuti informasi, dan responsif terhadap masalah kekinian sangat menunjang peningkatan kualitas ilmu pendidik.112 Dalam menerima calon pendidik, kepala sekolah sebaiknya tidak hanya mempertimbangkan ijazah, aspek kualitas adalah nomor satu. Sangat penting diadakan tes calon pendidik, baik teori maupun praktek untuk mengetahui sejauhmana kualitas, 111 Moh. Zaiful Rosyid dan Aminol Rosid Abdullah, Reward & Punishment dalam Pendidikan, (Malang: Literasi Nusantara, 2018), 64. 112 Syarifuddin, “Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam” Guru Profesional: dalam Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi), Volume 3, No 1, (2015 M/1436 H), 81. kemampuan menguasai kelas, dan kematangannya dalam mengajar. 2. Leader (Pemimpin) Pendidik juga seorang pemimpin kelas. Karena itu, ia juga harus bisa menguasai, mengendalikan, dan mengarahkan kelas menuju tercapainya tujuan pembelajaran yang berkualitas. Sebagai seorang pemimpin, harus terbuka, demokratis, egaliter, dan menghindari cara-cara kekerasan.113 Seorang pendidik harus suka mengedepankan musyawarah dengan peserta didiknya untuk mencapai kesepakatan bersama yang dihargai semua pihak. Ia juga harus suka mendengar aspirasi peserta didiknya mengenai pembelajaran yang disampaikan, walau itu berupa kritik pedas sekalipun. 3. Fasilitator Sebagai fasilitator, pendidik bertugas memfasilitasi peserta didik untuk menemukandan mengembangkan bakatnya secara pesat.114 Menemukan bakat anak didik bukan persoalan mudah, ia membutuhkan eksperimentasi maksimal, latihan terus menerus, dan evaluasi rutin. 4. Motivator Sebagai seorang motivator, seorang pendidik harus mampu membangkitkan semangat dan mengubur kelemahan anak didik bagaimanapun latar belakang hidup keluarganya, bagaimanapun kelam masa lalunya, dan bagaimanapun berat tantangannya.115 Di bawah ini beberapa prinsip dan motivasi belajar supaya mendapat 113 Ibid. 114 Fauzia Afrianur, Peningkatan Kompetensi Guru dengan Mewujudkan Pembelajaran Aktif, Inovatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif, dan Menarik, 2017, 9. 115 Ibid. perhatian dari pihak perencanaan pengajaran, khususnya dalam rangka merencanakan kegiatan belajar mengajar. a. Kebermaknaan b. Modelling c. Komunikasi terbuka d. Prasyarat e. Novelty (masih asing) f. Latihan/Praktik yang Aktif dan Bermanfaat g. Latihan terbagi h. Kurangi secara sistematik paksaan belajar i. Kondisi yang menyenangkan 5. Administrator Sebagai seorang pendidik, tugas administrasi sudah melekat dalam dirinya, mulai dari melamar menjadi pendidik, kemudian diterima dengan bukti surat keputusan yayasan, surat intruksi kepala sekolah, dan lain-lain. Urusan yang ada dilingkup pendidikan formal biasanya memakai prosedur administrasi yang rapi dan tertib.116 6. Evaluator Sebaik apapun kualitas pembelajaran, pasti ada kelemahan yang perlu dibenahi dan disempurnakan. Di sinilah pentingnya evaluasi seorang pendidik. Dalam evaluasi ini, pendidik bisa memakai banyak cara, dengan merenungkan sendiri proses pem- belajaran yang diterapkan, meneliti kelemahan dan kelebihan, atau dengan cara yang lebih objektif, meminta pendapat orang lain, misalnya kepala sekolah, pendidik yang lain, dan peserta didiknya.117 116 Jamal Ma’mur Asmani, Tips Menjadi Guru Inspiratif, Kreatif, dan Inovatif, (Yogyakarta: Diva Press, 2012), 39-54. 117 Ibid. B. Jenis-Jenis Hubungan Guru-Murid Hubungan guru-murid banyak ragamnya bergantung pada guru, murid serta situasi yang dihadapi. Tiap guru mempunyai hubungan yang berbeda menurut pribadi dan situasi yang dihadapi. Untuk mempelajarinya, kita dapat berpegang pada tipe-tipe guru, misalnya guru yang otoriter yang menjaga jarak dengan murid dan guru yang ramah, yang dekat serta akrab dengan muridnya. Guru yang otoriter tak mengizinkan anak melewati batas atau jarak social tertentu. Guru itu tak ingin murid menjadi akrab dengan dia. Juga dalam situasi rekreasi ia mempertahankan jarak itu. Guru tetap merasa berkuasa dan berhak untuk memberikan perintah. Diharapkannya agar perintah itu juga ditaati. Guru yang otoriter ini yang mungkin dianggap kurang ramah tidak akan diajak oleh murid-muridnya dalam kegiatan santai yang gembira. Murid juga tidak akan mudah membicarakan soal-soal pribadi dengan dia. Jadi antara guru dan murid tidak terdapat hubungan yang akrab. Guru seperti ini disegani, ditakuti, mungkin juga kurang disukai atau justru dikagumi bila ia juga memiliki sifat-sifat baik. Sebaiknya guru yang ramah akan dekat kepada muridnya. Murid- murid suka meminta dia turut serta dalam kegiatan rekreasi dan membicarakan soal-soal pribadi, namun mungkin dianggap kurang berwibawa. Tipe guru yang murni, yang sepenuhnya otoriter atau sepenuhnya ramah tentu tidak ada. Tiap guru akan mempunyai kedua sifat itu dalam taraf tertentu. Akan tetapi kedua tipe itu dapat dijadikan pe- gangan yang berguna untuk menganalisis hubungan antara guru dan murid. Peranan yang dijalankan oleh guru dalam hubungannya dengan murid-muridnya akan mendekati salah satu tipe itu dalam taraf yang berbeda-beda. Respons murid terhadap peranan guru itu merupakan faktor utama yang menentukan efektivitas guru. Tipe kelakuan guru tertentu mungkin lebih efektif terhadap murid tertentu, misalnya bagi sejumlah murid tipe guru yang otoriter yang efektif, sedangkan bagi murid lain tipe guru yang ramah lebih sesuai.118 Adapun hubungan guru–murid dikatakan baik apabila hubungan itu memilki sifat-sifat sebagai berikut: 1) Keterbukaan, sehingga baik guru maupun murid saling bersikap jujur dan membuka diri satu sama lain; 2) Tanggap bilaman seseorang tahu bahwa dia dinilai oleh orang lain; 3) Saling ketergantungan antara satu dengan yang lain; 4) Kebebasan yang memperbolehkan setiap orang tumbuh dan mengembangkan keunikannya, kreatifitasnya dan kepribadiannya; 5) Saling memenuhi kebutuhan, sehingga tidak ada kebutuhan satu orang pun yang tidak terpenuhi.119 C. Reaksi Murid Terhadap Peranan Guru Pendidik dan peserta didik merupakan dua jenis status yang dimiliki oleh manusia-manusia yang memainkan peran fungsional dalam wilayah aktivitas yang terbingkai sebagai dunia pendidikan. Reaksi murid yang berlainan terhadap tuntutan guru yang kurang dikehendaki antara lain: mengganggu jalannya pelajaran dalam kelas dan mengancam adanya perbedaan antara status guru dan murid.120 Proses pendidikan banyak terjadi dalam interaksi sosial antara guru dan murid. Sifat interaksi ini banyak tergantung pada tindakan guru yang ditentukan antara lain oleh tipe peranan guru. Bagaimana reaksi murid terhadap peranan guru dapat diketahui dari ucapan murid tentang guru itu. Tentang hal ini telah dilakukan sejumlah penelitian. 118 S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, 115-116. 119 Thomas Gordon, Guru yang Efektif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1990), 26. 120 Sanapiah Faisal, Sosiologi Pendidikan, (Surabaya: Usaha Nasional, 2010), 170. D. Hubungan Antara Hasil Belajar Murid dengan Kelakuan Guru Untuk menilai efektivitas guru dalam mengajar dapat diminta pendapat pemilik sekolah, kepala sekolah, dan juga murid. Walaupun banyak aspek peranan guru dan murid yang tidak seimbang, kon- septualisasi interaksi antara guru dan murid berasumsi bahwa murid dan guru saling mempengaruhi antara yang satu dengan yang lain. Aspek-aspek interaksi antara pendidik dan peserta didik yang terlihatnya mempengaruhi sikap dan penampilan akademis murid terutama dalam hasil belajar murid. Dalam suatu pelitian ternyata pertambahan pengetahuan peserta didik dalam pelajaran rendah korelasinya dengan taraf disukainya pendidik oleh peserta didik tersebut. Jadi guru yang di sukai, yang ramah, dan lain-lain ternyata bukan guru yang efektif dalam me- nyampaikan ilmu.121 Murid cenderung terlalu santai dan tidak semua- nya harus dari diri murid sendiri, terkadang dalam beberapa segi murid perlu dipaksa dan di sikapi dengan tegas. Karena sifat murid cenderung malas-malasan dan belum mengetahui pentingnya belajar, mereka cenderung suka bermain dan bersenang-senang. Guru yang ramah, tidak ingin memaksa. Guru tersebut lebih ingin murid belajar berdasarkan keinginan sendiri, tapi guru yang otoriter cenderung memaksa sehingga mau tidak mau murid akan belajar. E. Kelakuan Murid Berhubungan Dengan Kelakuan Guru Kita dapat mengamati kelakukan anak dalam kelas dan mencoba melihat hubungannya dengan tindakan guru. Tak semua perbuatan anak diakibatkan perbuatan guru. Juga tidak selalu mudah dipastikan bahwa kelakuan anak ada hubungannya dengan kelakuan guru. Kelakuan guru yang sama mungkin berbeda pengaruhnya terhadap murid di SD dan di SM. 121 S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, 118 Kelakuan anak dalam kelas yang kita amati dapat berupa (1) perbuatan yang menunjukkan ketegangan, rasa cemas yang terlihat pada anak SD dengan mengicap jari, menarik-narik rambut, (2) per- buatan yang tak bertalian dengan pelajaran sepeti melihat-lihat ke depan, kiri-kanan, (3) bercakap-cakap atau berbisik-birik dengan anak lain, (4) main-main dengan sesuatu, (5) mematuhi apa yang disuruh lakukan oleh guru, (6) tidak mematuhi perintah guru, melakukan sesuatu yang mengganggu pelajaran.122 Pada umumnya perbuatan anak sebagai reaksi terhadap kelakuan guru dapat bersifat menurut atau tidak menurut, menyesuaikan diri dengan perintah guru atau menentangnya. Anak yang menurut akan menunjukkan kerjasama, turut memberi sumbangan pikiran, mengajukan pertanyaan, memberi bantuan dan dengan demikian memperlancar pelajaran. Dalam penelitian pada murid-murid SD ternyata bahwa bila guru itu dominatif maka lebih banyak murid yang bercakap-cakap, berbisik-bisik atau mengadakan kontak satu sama lain secara tersembunyi, bermain-main dengan sesuatu secara diam-diam. Jadi sebenarnya tidak mengindahkan guru. Mereka kurang atau jarang mengemukakan saran-saran atau buah pikirannya secara sukarela, kurang terdorong untuk menjawab pertanyaan guru atau meng- ajukan pertanyaan atau menyatakan sesuatu secara spontan/pada guru yang integratif anak-anak lebih berani dan bersedia untuk mengemukakan pendapatanya, lebih spontan dalam ucapannya dan suka bekerjasama. Dominasi guru tak selalu berhasil untuk mencapai kepatuhan sepenuhnya, bahkan dapat menimbulkan konflik atau tantangan sekalipun dalam bentuk yang tersembunyi. Selain itu dominasi guru terhadap murid dapat menimbulkan dominasi murid terhadap murid- murid yang lain yang lebih lemah. Khususnya anak yang paling banyak didominasi oleh guru cenderung untuk menunjukkan kekuasaannya terhadap anak-anak lain sebagai kompensasi. 122 Moh. Zaiful Rosyid dan Aminol Rosid Abdullah, Reward & Punishment dalam Pendidikan, 56. Berdasarkan studi ini dapat dikemukakan hipotesis yang berikut: (1) guru yang dominatif dalam kelas akan menghadapi murid-murid yang tidak menunjukkan sikap kerjasama, (2) murid-murid di bawah pimpinan guru-guru dominatif juga akan bersikap dominatif terhadap murid-murid lain, (3) guru-guru yang integratif atau koperatif dalam hubungannya dengan murid akan menimbulkan sikap kerjasama pada muridnya, baik terhadap guru mapun terhadap murid lainnya. Terlihatnya dalam interaksi sosial, anak-anak meniru gurunya dan melakukannya dalam hubungan mereka dengan anak-anak lain.123 Guru yang dominatif dapat menimbulkan sikap menentang. Mereka ingin diakui kepribadiannya. Khususnya pemuda pada masa pubertas justru ingin membentuk kepribadiannya sebelum memasuki masa kedewasaannya. Karena itu mereka peka akan ucapan atau tindakan yang menyinggung perasaan dan harga dirinya. Terhadap tindakan yang demikian mereka berontak secara terbuka atau ter- sembunyi. Akan tetapi dalam hal pelajaran dan sekolah mereka ingin mendapat guru yang berwibawa, yang tegas, yang dapat menegakkan dan memelihara disiplin. Mereka tahu, tanpa disiplin, tanpa kewibawaann, otoritas atau dominasi guru murid-murid tidak akan belajar sungguh-sungguh. Dominasi guru dapat dijalankan tanpa menyinggung perasaan atau harga diri murid dan secara obyektif dapat ditujukan untuk mencapai hasil belajar yang diharapkan. Untuk mencapai hasil akademis ter- lihatnya pendidik yang dominatif lebih serasi daripada guru yang integratif atau demokratis. Guru yang demoratis-integratif akan lebih disenangi oleh murid akan tetapi dalam pelajaran mengenai informasi atau pengetahuan mereka akan ketinggalan. Dalam pergaulan, murid- murid yang diajar oleh guru dominatif cenderung untuk mendominasi teman-temannya, sedangkan murid-murid guru yang integratif akan cenderung untuk bersikap ramah dalam persahabatannya. 123 Moh. Zaiful Rosyid dan Aminol Rosid Abdullah, Reward & Punishment dalam Pendidikan, 58. F. Peranan Guru Dalam Masyarakat dan Respons Murid Guru hendaknya mengenal masyarakat agar dapat berusaha menyesuaikan pelajaran dengan keadaan masyarakat sehingga relevan. Guru-guru kita diharapkan mengabdi kepada masyarakat dengan pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya dan dengan demikian turut memberi sumbangannya kepada pembangunan ne- gara. Di mana saja guru berada, khususnya di desa, cukup kesem- patan baginya untuk berpartisipasi dan berbakti dalam masyarakat. Para peserta didik tidak begitu menghiraukan ada tidaknya par- tisipasi guru dalam berbagai kegiatan masyarakat. Guru yang baik mereka menilai berdasarkan kemampuannya mengajar, sikapnya terhadap murid akan tetapi tidak dikaitkan dengan banyaknya kesibukan guru dalam masyarakat, Juga tidak kelihatan bukti-bukti bahwa guru yang turut serta dalam berbagai kegiatan masyarakat meningkatkan kemampuannya mengajar sehingga mempertinggi prestasi belajar murid. Bahkan ada kemungkinan partisipasi guru dalam berbagai kegiatan di luar sekolah akan mengurangi waktu dan perhatiannya untuk murid dan dengan demikian merugikan murid dan sekolah. G. Peranan Guru Lainnya di Sekolah dan Respons Peserta Didik Di sekolah, guru dapat memegang berbagai peranan selain mengajar yakni sebagai kepala sekolah, pembimbing Osis, koordinasi bidang studi, piket, dan lain-lain. Dalam prestasi belajar anak tidak ada pengaruh peranan tambahan yang dipegang oleh guru. Namun masih perlu penelitian tentang pengaruh berbagai peranan tambahan guru yang memberi kesempatan yang lebih luas kepada guru untuk berinteraksi dengan murid.124 124 S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, 118-122 BAB XI SOSIALISASI DAN PENYESUAIAN DIRI DI SEKOLAH A. Pengaruh Iklim Sosial Terhadap Sosialisasi Anak Budaya dan iklim organisasi sekolah secara konsisten ditemukan berkorelasi positif dengan prestasi belajar. Penelitian Cheng menunjukkan bahwa sekolah dengan budaya organisasi (cita-cita, keyakinan, dan misi) yang kokoh cenderung dipandang lebih efektif dalam hal produktivitas, kemampuan adaptasi dan keluwesan.125 Demikian juga halnya, bahwa suasana atau iklim lingkungan kerja pada sekolah dapat mempengaruhi kinerja dan keberhasilan sekolah. Iklim kerja di sekolah dapat mencakup faktor-faktor seperti hubungan antara pendidik dan peserta didik, dukungan kepemimpinan, budaya sekolah, dan keamanan fisik dan emosional. Studi tentang iklim kerja di sekolah memang telah berkembang dengan mapan di negara- negara maju, dan telah memberikan sumbangan yang signifikan bagi pembentukan sekolah-sekolah yang berhasil. Melalui penelitian ini, sekolah-sekolah dapat mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi iklim kerja yang positif dan mengembangkan strategi untuk meningkatkan iklim kerja di sekolah mereka. Iklim kerja yang positif dapat memotivasi pendidik dan peserta didik untuk bekerja secara lebih produktif, kreatif, dan efektif. Hal ini juga dapat mempengaruhi kepuasan kerja pendidik dan keter- libatan peserta didik dalam proses belajar-mengajar. Oleh karena itu, penting bagi sekolah untuk memperhatikan iklim kerja mereka dan mengembangkan strategi untuk memperbaiki dan mempertahankan iklim kerja yang positif. Namun, perlu juga ditekankan bahwa faktor- faktor lain, seperti pendanaan, kualitas pengajaran, dan akses ke sumber daya pendidikan yang memadai, juga dapat mempengaruhi kinerja sekolah. Oleh karena itu, penting bagi pemerintah dan stakeholder pendidikan lainnya untuk memperhatikan semua faktor ini dalam upaya meningkatkan kualitas pendidikan. 125 Saimun dan Hanafi, Motivasi Berprestasi Mahasiswa, (Lombok Barat NTB: CV ELhikam Press Lombok, 2020), 50. Ditegaskan bahwa jika guru merasakan suasana kerja yang kondusif di sekolahnya, maka dapat diharapkan peserta didiknya akan mencapai prestasi akademik yang memuaskan. Kekondusifan iklim kerja suatu sekolah mempengaruhi sikap dan tindakan seluruh komunitas sekolah tersebut, khususnya pada pencapaian prestasi akademik peserta didik. Purkey dan Smith menyatakan bahwa prestasi akademik peserta didik dipengaruhi sangat kuat oleh suasana kejiwaan atau iklim kerja sekolah.126 Lebih lanjut Hughes menegaskan bahwa setiap sekolah mempunyai karakter suasana kerja, yang akan mempengaruhi keber- hasilan proses kegiatan pembelajaran di kelas.127 1. Menciptakan suasanan kondusif Pembentukan suasana pembelajaran yang kondusif perlu diciptakan dalam seluruh lingkungan sekolah termasuk didalam- nya lingkungan kelas. Secara eksplisit faktor-faktor yang mem- pengaruhi keberhasilan proses pembelajaran di dalam kelas antara lain adalah kompetensi pendidik, metode pembelajaran yang dipakai, kurikulum, sarana dan prasarana, serta lingkungan pembelajaran baik lingkungan alam, psikososial dan budaya.128 Dapat diartikan disini bahwa lingkungan sosial pembelajaran di kelas maupun di sekolah (kantor guru dan staf tata usaha) mem- punyai pengaruh baik langsung maupun tak langsung terhadap proses kegiatan pembelajaran. 126 Resha Aulia, Yuline, Purwanti, “Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Khatulistiwa (JPPK)”. “Pengaruh Iklim Sekolah Terhadap Kedisiplinan Belajar Peserta Didik Kelas X Sma Negeri 7 Pontianak 2019/2020, Vol 10. No. 1. (2021), 6. https://jurnal.untan.ac.id/index.php/jpdpb/article/ view/44271 (diakses 10 Februari 2023). 127 Siti Badriyah, “Pendidikan Karakter Perspektif Islam: Telaah Kritis Pemikiran Diane Tillman Tentang Pendidikan (14 September 2017), 204. https://fai.unuja.ac.id/unduh/21/ PROCEEDING ICEISC 141-286.pdf. (diakses 10 Februari 2023). 128 Harjali, Penataan Lingkungan Belajar Strategi Untuk Guru Dan Sekolah, (Malang: CV. Seribu Bintang, 2019), 14 2. Ciri-ciri yang kondusif Dalam sekolah efektif, perhatian khusus diberikan kepada penciptaan dan pemeliharaan iklim yang kondusif untuk belajar.129 Iklim yang kondusif ditandai dengan terciptanya lingkungan belajar yang aman, tertib, dan nyaman sehingga proses belajar mengajar dapat berlangsung dengan baik. iklim yang kondusif sangat penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang efektif di sekolah. Berikut adalah bebe- rapa faktor yang dapat menciptakan iklim belajar yang kondusif di sekolah: a. Keselamatan: peserta didik harus merasa aman di lingkungan sekolah agar dapat berkonsentrasi pada pembelajaran. Sekolah harus menjamin keamanan peserta didik dengan memperhatikan masalah seperti kekerasan, kejahatan, dan intimidasi. b. Disiplin: Sekolah harus menjaga tingkat disiplin yang tinggi untuk memastikan lingkungan belajar yang tertib dan teratur. Hal ini dapat dilakukan dengan menjalankan aturan dan kebijakan yang jelas, serta memberikan sanksi yang tegas terhadap pelanggaran. c. Komunikasi: Komunikasi yang efektif antara peserta didik, pendidik, dan staf sekolah sangat penting dalam menciptakan iklim belajar yang kondusif. Ini mencakup memberikan umpan balik yang konstruktif, mendengarkan dengan cermat, dan memastikan bahwa pesan yang disampaikan dipahami dengan jelas. d. Kerja sama: Kerja sama antara peserta didik, pendidik, dan staf sekolah penting untuk menciptakan lingkungan belajar yang nyaman dan mendukung. Sekolah dapat menciptakan 129 E. Mulyasa, Manajemen dan Kepemimpinan Kepala Sekolah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2022), 90 kesempatan untuk kerja sama dalam berbagai aktivitas, termasuk kegiatan ekstrakurikuler dan proyek kelas. e. Penilaian: Penilaian yang adil dan terbuka dapat membantu menciptakan iklim belajar yang kondusif. Pendidik harus memberikan umpan balik yang konstruktif kepada peserta didik dan memberikan kesempatan untuk memperbaiki diri. Hal ini akan membantu peserta didik merasa diterima dan didukung dalam proses belajar mereka. Secara keseluruhan, iklim belajar yang kondusif menciptakan lingkungan yang aman, tertib, dan nyaman di mana peserta didik dapat berkonsentrasi pada pembelajaran dan merasa didukung dalam upaya mereka untuk belajar. Dengan menciptakan iklim belajar yang kondusif, sekolah dapat membantu peserta didik mencapai potensi penuh mereka dan meraih kesuksesan di masa depan. Iklim adalah konsep sistem yang mencerminkan keseluruhan gaya hidup suatu organisasi. Apabila gaya hidup itu dapat ditingkatkan, kemungkinan besar tercapai peningkatan prestasi kerja.130 Pandangan ini mengindikasikan kualitas iklim yang memungkinkan meningkatnya prestasi kerja. Iklim tidak dapat dilihat dan disentuh, tetapi ia ada seperti udara dalam ruangan. Ia mengitari dan mempengaruhi segala hal yang terjadi dalam suatu organisasi. Iklim dapat mepengaruhi motivasi, prestasi, dan kepuasan kerja.131 130 Mailiza Amalia, “Pekbis Jurnal” Pengaruh Motivasi Belajar, Budaya Sekolah, dan Gaya Belajar Terhadap Prestasi Belajar Siswa Smp Metta Maitreya Pekanbaru, Vol. 9 No. 2, (Juli 2017), 115, https://pekbis.ejournal.unri.ac.id/index.php/JPEB/article/download/4421/4231 (diakses 10 Februari 2023). 131 SITI NURASIAH M dan DJASWIDI AL HAMDANI, “Tsamrah al-Fikri” Studi Korelasional Antara Komunikasi Guru-Orang Tua, Lingkungan Sekolah, dan Karakter Peserta Didik, Vol. 10, (2016), 143 https://www.riset-iaid.net/index.php/TF/article/view/10 (diakses 10 Februari 2023). 3. Penggolongan Iklim Sekolah Budaya dan iklim sekolah yang kondusif sangat penting agar peserta didik merasa tenang, aman dan bersikap positif terhadap sekolahnya, agar pendidik merasakan diri dihargai, dan agar orangtua dan masyarakat merasa dirinya diterima dan dilibatkan. Hal ini dapat terjadi melalui penciptaan norma dan kebiasaan yang positif, hubungan dan kerja sama yang harmonis yang didasari oleh sikap saling menghargai satu sama lain sebagaimana diungkap Lailatu Zahroh.132 Hal yang sama juga dikemukakan oleh Ahmad Shidqi Dian Arifandi, yaitu budaya sekolah yang perlu ditumbuhkan berupa suasana saling hormat antara peserta didik dengan peserta didik, peserta didik dengan pendidik, pendidik dengan pendidik, dan dengan pihak lainnya.133 Sehubungan dengan itu maka budaya dan iklim sekolah dapat digolongkan menjadi enam kondisi yaitu: (1) iklim terbuka, (2) iklim bebas, (3) iklim terkontrol (4) iklim familier (kekeluargaan), (5) iklim parternal, dan (6) iklim tertutup.134 Selain itu, iklim sekolah yang kondusif mendorong setiap personil yang terlibat dalam organisasi sekolah untuk bertindak dan melakukan yang terbaik yang mengarah pada prestasi peserta didik yang tinggi. Yang perlu diperhatikan dalam pengembangan budaya sekolah Beberapa indikator yang perlu diperhatikan dalam mengembangkan budaya dan iklim sekolah yang kondusif dikemukakan berikut ini. 132 Lailatu Zahroh, “Jurnal Pendidikan Agama Islam” Urgensi Pembinan Iklim dan Budaya Sekolah, Vol. 03 No. 1 (Mei 2015), 184 http://jurnalpai.uinsby.ac.id/index.php/jurnalpai/article/ view/43 (diakses 10 Februari 2023). 133 Ahmad Shidqi Dian Arifandi, “Edukais: Jurnal Pemikiran Keislaman” Peran Penting Budaya dan Iklim Sekolah dalam Proses Belajar Mengajar, Vol. 04 No. 1, (Juli 2020), 19. http:// ejournal.unibo.ac.id/index.php/edukais/article/view/159 (diakses 10 Februari 2023). 134 Ibid. 1) Penataan dan Perawatan Fasilitas Fisik Sekolah Salah satu ciri sekolah efektif adalah terciptanya budaya dan iklim sekolah yang menyenangkan sehingga peserta didik merasa aman, nyaman, dan tertib di dalam belajarnya. Hal ini ditandai dengan fasilitas-fasilitas fisik sekolah terawat dengan baik. Penampilan fisik sekolah selalu bersih, rapi, indah dan nyaman. Hal ini dapat dilihat dari hal-hal sebagai berikut: a. Pekarangan dan lingkungan sekolah yang tertata sede- mikian rupa sehingga memberi kesan asri, teduh, dan nyaman, serta dimanfaatkan untuk menanam sayuran dan apotik hidup. b. c. Budaya bersih juga senantiasa ditumbuhkan di kalangan warga sekolah dengan membiasakan perilaku mem- buang sampah pada tempatnya. Dalam lingkungan sekolah terdapat beberapa kawasan khusus seperti: kawasan wajib senyum, kawasan bebas narkoba dan rokok, dan kawasan wajib bahasa Inggris (English area). d. Adanya pembiasaan-pembiasaan yang bernuansa moral dan akhlak yang mendorong meningkatnya kecerdasan spritual peserta didik, seperti: (1) berdoa sebelum pelajaran dimulai; (2) menumbuhkan budaya relegius dengan membiasakan murid mengucapkan dan mem- balas salam setiap bertemu; (3) mengadakan pengajian secara rutin; (4) shalat berjamaah pada waktu shalat duhur; dan (5) terdapat juga sekolah yang mengadakan “kultum” setiap hari dan menugaskan peserta didik berceramah sekali seminggu. 2) Penataan Ruang Kelas Penataan ruang kelas ditujukan untuk memperoleh kon- disi kelas yang menyenangkan sehingga tercipta suasana yang mendorong peserta didik lebih tenang belajar. Peng- gunaan musik instrumentalia yang lembut dapat lebih menciptakan suasana menyenangkan dan memberi efek penenteraman emosi, baik pada saat peserta didik belajar di kelas maupun pada saat mereka melakukan berbagai aktivitas lainnya di luar kelas. 3) Penggunaan Sistem Kelas Berpindah (Moving-Class) Moving-class adalah sistem pengelolaan aktivitas pem- belajaran di mana kelas-kelas tertentu ditata khusus menjadi sentra pembelajaran bidang studi/mata pelajaran tertentu. Penggunaan sistem moving-class (kelas berpindah) meru- pakan alternatif yang dapat ditempuh untuk mengefektifkan penataan ruangan kelas sebagai sentra belajar. Dalam system moving-class ini, ruang-ruang kelas ter- tentu dapat ditata khusus untuk mendukung pembelajaran mata pelajaran tertentu. Ada kelas sains, kelas bahasa, kelas matematika, kelas kesenian, dan sebagainya. Kelas-kelas ini ditata menjadi semacam home-room atau sentra belajar khusus. Meja, kursi, peralatan, media, pajangan, dan berbagai aspek yang ada di kelas diatur sedemikian rupa sesuai kebutuhan dan karaketeristik pembelajaran mata pelajaran tertentu. 4) Penggunaan Poster Afirmasi Poster-poster afirmasi yang berisi pesan-pesan positif memang dapat menjadi salah satu cara yang efektif untuk menanamkan pesan-pesan spiritual kepada peserta didik dan warga sekolah. Namun, seperti yang telah disebutkan, pengadaan dan penempatan poster afirmasi ini perlu diper- hatikan agar tidak terkesan berlebihan atau menjadi pesan sloganis belaka. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam penga- daan dan penempatan poster afirmasi adalah: a. Pilih pesan-pesan spiritual yang sesuai dengan nilai-nilai yang ingin ditanamkan pada peserta didik. Pesan-pesan tersebut dapat berupa petikan ayat Al-Quran, hadist, pesan pujangga, atau puisi-puisi spiritual. Pastikan bahwa pesan-pesan tersebut dapat memberikan makna yang bermakna dan dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. b. c. Pastikan poster-poster afirmasi tersebut mudah dibaca dan dipahami. Gunakan huruf yang cukup besar, dengan warna yang kontras agar mudah dibaca. Hindari peng- gunaan font yang sulit dibaca atau warna yang terlalu mencolok. Pertimbangkan tempat penempatan poster-poster ter- sebut. Pilihlah tempat-tempat strategis yang mudah dilihat oleh peserta didik dan warga sekolah, seperti di dinding kelas, koridor, atau ruang tunggu. Namun, hin- dari penempatan yang terlalu berlebihan atau terlalu banyak sehingga terkesan membanjiri ruangan. d. Sesuaikan jumlah poster dengan luas ruangan. Jangan memasang terlalu banyak poster pada ruangan yang kecil, karena hal tersebut dapat membuat ruangan terlihat sesak dan terkesan berlebihan. Sebaliknya, pada ruangan yang cukup luas, sebaiknya dipasang beberapa poster yang tersebar di beberapa sudut ruangan agar lebih terlihat menarik. e. Jangan lupa untuk memperbarui pesan-pesan pada poster secara berkala. Hal ini penting agar peserta didik dan warga sekolah tidak merasa bosan dan terus ter- inspirasi oleh pesan-pesan positif yang disampaikan. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, pengadaan dan penempatan poster afirmasi dapat menjadi sarana yang efektif untuk menanamkan pesan-pesan spiritual pada pe- serta didik dan warga sekolah. B. Persaingan dan Kerjasama Sebuah sekolah memang dapat menjadi arena persaingan bagi peserta didik, terutama dalam hal prestasi akademik. Namun, sebaiknya pendidikan tidak hanya dipandang sebagai ajang per- saingan semata, tetapi juga sebagai tempat untuk belajar dan mengembangkan diri. Pendidikan harus memberikan peserta didik kesempatan untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang berguna dalam kehidupan mereka. Hal ini dapat dilakukan melalui pembelajaran yang menarik dan menyenangkan, serta melalui kegiatan yang memungkinkan peserta didik untuk berpartisipasi aktif dan mengembangkan kreativitas mereka. Sebagai pendidik, kita sebaiknya memotivasi peserta didik untuk mencoba hal-hal baru dan menantang diri mereka sendiri untuk terus berkembang. Namun, kita juga harus memastikan bahwa persaingan yang ada tidak mengganggu kesehatan mental dan emosional peserta didik. Sebaiknya, peserta didik dipandu untuk fokus pada kemajuan mereka sendiri dan bukan hanya pada perbandingan dengan peserta didik lainnya. Hal ini dapat membantu mereka untuk lebih memotivasi diri sendiri dan mengembangkan rasa percaya diri yang sehat. Jadi, meskipun sekolah dapat menjadi arena persaingan, penting bagi kita sebagai pendidik untuk menekankan bahwa pendidikan seharusnya tidak hanya tentang memenangkan kompetisi, tetapi juga tentang belajar dan berkembang secara pribadi. 1. Persaingan Persaingan merupakan kondisi real yang dihadapi setiap orang di masa sekarang. Kompetisi dan persaingan tersebut bisa dihadapi secara positif atau negatif, bergantung kepada sikap dan mental persepsi kita dalam memaknai persaingan tersebut. Hampir tiada hal yang tanpa kompetisi/persaingan, kompetisi/ persaingan dalam berprestasi, dunia usaha bahkan dalam proses belajar. Persaingan menurut kamus ilmiah popular adalah kompetisi, banyak pengajar memakai system kompetisi dalam pengajaran dan penilaian anak didik. Dalam model pembelajaran kompetisi, peserta didik belajar dalam suasana persaingan. Tidak jarang pula, guru memakai imbalan dan ganjaran sebagai sarana untuk memotivasi peserta didik dalam memenangkan kompetisi dengan sesama pembelajar. Teknik imbalan dan ganjaran yang didasarkan pada teori behaviorisme memang banyak digunakan dalam sistem penilaian hasil belajar, termasuk dalam model pembelajaran kompetisi. Dalam model ini, tujuan utama evaluasi adalah menempatkan peserta didik dalam urutan mulai dari yang paling tinggi sampai yang paling rendah, yang kemudian diikuti dengan pemberian imbalan atau ganjaran kepada peserta didik yang berprestasi. Secara positif, model kompetisi seperti ini memang dapat menim- bulkan rasa cemas yang justru dapat memacu peserta didik untuk meningkatkan kegiatan belajar mereka. Sedikit rasa cemas memang memiliki korelasi positif dengan motivasi belajar, karena rasa cemas tersebut dapat memberikan dorongan bagi peserta didik untuk belajar lebih keras dan mencapai prestasi yang lebih baik. Namun, sebaliknya, rasa cemas yang berlebihan dapat merusak motivasi peserta didik. Rasa cemas yang berlebihan dapat membuat peserta didik merasa tidak percaya diri dan takut untuk mencoba, yang dapat menghambat kemampuan mereka untuk belajar dengan baik. Oleh karena itu, penting bagi pendidik dan sistem pendidikan untuk memperhatikan dampak yang ditimbulkan oleh model pembelajaran yang mereka gunakan, termasuk model kompetisi, dan memastikan bahwa peserta didik merasa nyaman dan termotivasi untuk belajar. Apa sebenarnya arti kompetisi? Kompetisi merupakan per- saingan yang menunjuk kepada kata sifat siap bersaing dalam kondisi nyata dari setiap hal atau aktivitas yang dijalani. Ketika kita bersikap kompetitif, maka berarti kita memiliki sikap siap serta berani bersaing dengan orang lain. Dalam arti yang positif dan optimis, kompetisi bisa diarahkan kepada kesiapan dan kemampuan untuk mencapai kemajuan dan kesejahteraan kita sebagai umat manusia. Kompetisi seperti ini merupakan motivasi diri sekaligus faktor penggali dan pengembang potensi diri dalam menghadapi bentuk-bentuk kompetisi, sehingga kompetisi tidak semata-mata diarahkan untuk mendapatkan kemenangan dan mengalahkan lawan. Dengan memaknai kompetisi seperti itu, kita menganggap kompetitor lain sebagai partner (bukan lawan) yang memotivasi diri untuk meraih prestasi. Inilah bentuk kompetisi yang dilan- dasi sifat sehat dan tidak mengarah kepada timbulnya permu- suhan atau konflik, sehingga tidak bersifat deskruktif dan membahayakan kelangsungan dan keharmonisan kehidupan. Lalu bagaimana cara menghadapi persaingan? 1) Bersikap dan berjiwa besar dengan berani menerima kenyataan serta mengakui kelebihan orang lain 2) Menghargai dan mengapresiasikan kerja orang lain 3) Menghindari kesombongan atas keberhasilan diri 4) Menghindari upaya dan cara yang tidak benar, tidak adil dan merugikan orang lain dalam berkompetisi 5) Menumbuhkan sifat cinta damai, anti kekerasan dalam menyelesaikan masalah 6) Menjadikan orang lain sebagai partner, bukan lawan yang harus dikalahkan atau dihancurkan, tetapi sebagai motivator dan kompetitor dalam berprestasi Manfaat Kompetisi 1. Membiasakan diri hidup disiplin dan siap menghadapi tantangan atau masalah 2. Memiliki semangat untuk bekerja keras dan berfikir cerdas dalam meraih dan memperjuangkan sesuatu 3. Menjadi motivator dalam menggali, mengasah dan mengem- bangkan potensi diri Sikap “ agar aku bisa menang, orang lain harus kalah” erat hubungnya dengan prinsip “tujuan meng- halalkan segala cara”. Seeorang yang begitu berambisius untuk mengang tetapi merasa tidak bisa mengalahkan pesaingnya bisa tergoda untuk menjatuhkan pesaingnya dengan cara apapun. Terlalu banyak contoh dalam kehidupan seharihari yang mencerminkan cara-cara keji dan licik dalam memenangkan persaingan. Sangat disayangkan jika model kompetisi masih mendominasi di banyak sekolah dan dianggap sebagai satu-satunya model yang bisa digunakan. Padahal, pendidikan seharusnya bukanlah tentang memenangkan perlombaan atau menjadi yang terbaik dibandingkan yang lain. Pendidikan seharusnya membantu setiap anak untuk berkembang secara maksimal sesuai dengan potensinya masing-masing. Pendekatan pendidikan yang berorientasi pada kompetisi seringkali menimbulkan dampak negatif, seperti menekan motivasi belajar, menciptakan perasaan inferioritas pada peserta didik yang tidak mendapat predikat “berprestasi”, dan memicu stres pada peserta didik yang berkompetisi secara intensif. Lebih baik jika pendidikan diarahkan pada pengembangan keteram- pilan dan potensi setiap individu, sehingga setiap peserta didik dapat mencapai keberhasilan sesuai dengan kemampuan dan minatnya masing-masing. Pendidik perlu menyadari bahwa model kompetisi bukanlah satu-satunya model yang bisa digunakan dalam pendidikan. Ada banyak model pembelajaran yang dapat diadaptasi untuk men- capai tujuan pendidikan yang lebih inklusif dan berorientasi pada pengembangan potensi peserta didik secara keseluruhan. Penting bagi para pendidik untuk mempertimbangkan pendekatan pem- belajaran yang beragam dan memperhatikan kebutuhan dan karakteristik peserta didik di kelas. 2. Kerjasama Kerjasama merupakan kebutuhan yang sangat penting arti- nya bagi kelangsungan hidup, tanpa kerjasama tidak aka nada individu, keluarga, organisasi, atau sekolah. Kebanyakan pengajar enggan menerapkan system kerjasama di dalam kelas karena beberapa alasan. Alasan yang utama adalah kekhawatiran bahwa akan terjadi kekacauan di kelas dan peserta didik tidak belajar jika mereka di tempatkan dalam grup. Selain itu, banyak orang mempunyai kesan negatif mengenai kegiatan kerjasama atau belajar dalam kelompok. Banyak peserta didik juga tidak senang di suruh bekerja sama dengan yang lain. peserta didik yang tekun merasa harus bekerja melebihi peserta didik yang lain dalam grup mereka, sedangkan peserta didik yang kurang mampu merasa minder di tempatkan dalam satu grup dengan peserta didik yang lebih pandai. Peserta didik yang tekun juga merasa temannya yang kurang mampu hanya menumpang saja pada hasil jerih payah mereka. C. Membudayakan Kepemimpinan Etnopedagogi Sekolah Guru profesional memiliki tanggung jawab untuk membangun karakter bangsa dan budaya. Sunaryo Kartadinata memberikan pengantar dalam Model Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi ada beberapa indikator untuk membangun karakter bangsa dan budaya melalui pendidikan.135 Pertama, pendidikan karakter tidak perlu diberikan dalam mata pelajaran yang terpisah, tapi terintegrasi dengan mata pelajaran lain. Kedua, selain mengajar dalam bentuk pesan, bangsa diupayakan pem- binaan pendidikan karakter melalui penciptaan kondisi (conditioning, modeling), pembiasaan, bahkan melalui imbalan dan hukuman. Ketiga, perlu revitalisasi, elaborasi, dan memperkuat nilai nilai sosial yang menjadi identitas nasional sebagai pesan utama dari pen- didikan karakter, atau melalui apa yang dikenal sebagai etnopedagogi. Keempat, pendidikan karakter sedang sulit dicapai jika pendidikan hanya menekankan aspek kognitif, atau hanya berorientasi pada mendapatkan nilai. Kelima, meskipun keluarga dan sekolah diakui sebagai Lembaga dan agen utama pendidikan karakter, diperlukan keterlibatan semua pihak. Partisipasi semua pihak yang diperlukan untuk mempromosikan nilai-nilai sosial yang baik serta mengurangi pandangan dan Tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dan nilai-nilai yang menjadi acuan dalam kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Sekolah sebagai pusat pembudayaan, harus dipimpin oleh kepala sekolah yang kuat yang mengakomodasi nilai lokal sebagai dasar ke arah globalisasi. Pendidikan adalah transformasi budaya, yang sebagai pedoman, arah, dan kesepakatan prosedural di sekolah. Membudayakan dapat didefinisikan sebagai tempat pelestarian atau konservasi, pengayaan, perluasan, kreativitas dan transformasi dari satu orang ke orang lain atau dari satu generasi ke generasi 135 Dasim Budimansyah, Yadi Ruyadi, dan Nandang Rusmana, Model Pendidikan Karakter di Perguruan Tinggi, (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2010), vii. berikutnya. Hal ini dapat terjadi di sekolah. Kepala sekolah membuat guru dan peserta didik berbudaya untuk memiliki kemampuan nyata dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka diharapkan untuk menghadapi hidup dari yang sederhana sampai tantangan yang kompleks. Proses ini harus dikembangkan dan disesuaikan dengan keadaan setempat masing-masing. Kepemimpinan etnopedagogi mengadopsi beberapa nilai-nilai dari teori pedagogi, kepemimpinan, dan budaya lokal. Intinya adalah memimpin sekolah dengan kombinasi nilai-nilai global dan lokal. Indonesia tergolong dalam negara berkembang yang memiliki nilai- nilai tertentu. Dipengaruhi oleh globalisasi, Indonesia harus meng- adopsi inovasi dari negara-negara maju dan beradaptasi ke dalam nilai-nilai lokal. Peran pemimpin sekolah adalah untuk mengadopsi, mengadaptasi, dan mentransformasikan inovasi dan nilai-nilainya ke nilai-nilai lokal sekolah dengan harmonis. Nilai-nilai etnis lokal umumnya digunakan di setiap sekolah, serta nilai-nilai global yang tidak bertentangan. Pertumbuhan dan perkembangan budaya sangat tergantung pada pola pikir dan perilaku manusia itu sendiri dalam menerima rangsangan dari luar atau dari dalam. Setiap perubahan nilai sosial di antara orang-orang yang sekarang terjadi. Perlu upaya untuk menanamkan nilai-nilai budaya kepada masyarakat. Salah satu upaya adalah bagaimana mengembangkan guru dan peserta didik melalui penilaian nilai atau latar belakang sosial-budaya. Upaya ini diharapkan dapat menciptakan budaya nasional yang kuat yang dapat memperkuat solidaritas dan menyatukan bangsa, sekaligus bisa menjadi kebanggaan nasional. Hal ini diyakini bahwa sekolah itu terkandung nilai-nilai sosial-budaya masyarakat (local genius, local wisdom), dan memiliki fungsi sosial sebagai penguat nilainilai dan norma yang berlaku di negara kita. Menurut William R. Bascom ada empat fungsi itu, yaitu 1. Sebagai sistem proyeksi, sebagai refleksi dari sebuah pemikiran kolektif, itu membuat orang mengalihkan diri dari represi yang dikenakan terhadap mereka oleh masyarakat 2. sebagai instrumen ratifikasi institusi dan lembaga kebudayaan, memvalidasi budaya, membenarkan ritual dan lembaga untuk mereka yang melakukan dan mengamati mereka. 3. 4. Sebagai alat pendidikan, alat pedagogik yang memperkuat moral dan nilai-nilai dan membangun kecerdasan. Sebagai sarana penegakan dan pengawasan untuk norma-norma masyarakat akan selalu dipatuhi kolektif, merupakan suatu cara menerapkan tekanan sosial dan melaksanakan kontrol sosial.136 Sebagai institusi pendidikan, sekolah membutuhkan memimpin bagi pembudayaan. Sekolah menyediakan inovasi untuk meningkatkan kemampuan adaptasi peserta didik terhadap globalisasi. Mereka menerima banyak hal untuk menghadapi kehidupan modern, namun tetap menjunjung tinggi kearifan lokal. Pengetahuan lokal atau indigenous knowledge juga mempengaruhi pemimpin untuk menggerakkan warga sekolah. Berdasarkan definisi indigenous knowledge, penulis memahami pengetahuan lokal tradi- sional sebagai keseluruhan dari warisan intelektual dan budaya dari sekelompok masyarakat adat yang membentuk identitas mereka yang berbeda, dipertahankan dan dikembangkan melalui transmisi dari generasi ke generasi dengan cara mereka sendiri yang berbeda dan berkaitan dengan dan berkembang dalam ruang fisik yang berbeda. Definisi ini menekankan adanya system epistemologis tertentu pemahaman tentang dunia dan diri sendiri dalam dunia ini. Sistem ini meliputi unsur-unsur seperti: ide (konsep, persepsi, etika, estetika), artefak (sistem simbol terminologi, petroglyphs, peralatan, tari dan lagu) dan situs suci (baik yang berasal dari alam dan non-alami). 137 Etnopedagogi adalah praktik pendidikan berbasis pengetahuan lokal dalam berbagai aspek kehidupan. Ini akan tumbuh menjadi 136 Bascom, W, Four Function of Folklore. The Journal of American Folklore Vol. 67 No. 266 (Oct–Dec 1954), 333-349. 137 Khamaganova, Erjen, Traditional Indigenous Knowledge: Local View. Paper presented in International Workshop on Traditional Knowledge, (Panama City, 21-23 September 2005), 2. ethnophilosophy, ethnopsychology, etnomusicology, ethnopolitics, dan lain-lain. Etnopedagogi memandang pengetahuan atau kearifan local (indigenous knowledge, local wisdom) sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang dapat diberdayakan untuk kesejahteraan masyarakat. Kearifan lokal adalah koleksi fakta, konsep, keyakinan, dan per- sepsi masyarakat terhadap lingkungan mereka. Ini termasuk cara mengamati dan mengukur lingkungan, memecahkan masalah, dan memvalidasi informasi. Singkatnya, kearifan lokal adalah proses bagaimana pengetahuan dihasilkan, disimpan, diterapkan, dikelola, dan diwariskan.138 Menurut A. Chaedar Alwasilah dikutip Abdul Rahmat ada beberapa karakteristik dari kearifan lokal: (1) berdasarkan pengalaman, (2) diuji setelah digunakan selama berabad-abad, (3) dapat disesuaikan dengan budaya sekarang, (4) terpadu di setiap hari praktik dan lembaga-lembaga masyarakat, (5) umumnya dilakukan oleh individu atau masyarakat secara keseluruhan, (6) adalah dinamis dan selalu berubah, dan (7) sangat terkait dengan system kepercayaan.139 Pemberdayaan melalui adaptasi pengetahuan lokal, termasuk reinterpretasi nilai-nilai yang terkandung dalam sejumlah peribahasa, dengan kondisi kontemporer adalah strategi cerdas untuk meme- cahkan masalah sosial karena dalam banyak hal masalah-masalah sosial yang berasal dari isu-isu lokal juga. Pemimpin lebih mudah untuk mengarahkan anak buahnya dengan norma-norma yang umum di masyarakat dimana pertum- buhan sekolah. Kearifan lokal bisa menjadi kendaraan yang Sinergi tujuan modernisasi dengan pelestarian keunggulan lokal. Etnopeda- gogi didefinisikan sebagai model pembelajaran lintasbudaya. Guru mampu mengajar di setting budaya yang setempat yang mungkin 138 Yepy Agus Ramdani, Pengembangan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Berbasis Naskah Amanat Galunggung untuk Memperkaya Materi Pembelajaran PKN, (Bandung: UPI, 2017), 4. 139 Abdul Rahmat, Sosiologi Pendidikan, (Gorontalo: Ideas Publishing, 2015), 106. berbeda. Peserta didik adalah pembelajar lintas budaya. Peserta didik manapun di dunia biasanya menunjukkan ada pola pikir serupa. Hal ini dapat diartikan bahwa untuk memberikan pemahaman baru harus disesuaikan dengan nilai-nilai budaya yang berlaku di lingkungan setempat. Hal baru dapat dengan mudah diterima jika mengandung nilai-nilai yang sejalan dengan nilai-nilai lokal. Pendidikan juga me- nyediakan nilai-nilai universal yang harus ada di setiap nilai order di dunia. Sebaliknya, nilai-nilai lokal yang baik dan unik dapat diterapkan di dalam dan di luar masyarakat lokal. Dalam hal ini, pendidikan melalui pendekatan etnopedagogi dapat membantu untuk mengintegrasikan pengetahuan lokal ke dalam kurikulum pendidikan yang lebih luas, dan mempromosikan pengetahuan yang beragam dan multikultural. Pendekatan etnopedagogi menempatkan pengetahuan dan budaya lokal sebagai titik awal dalam pendidikan. Hal ini mengakui bahwa pengetahuan lokal dapat diberdayakan dan digunakan sebagai sumber inovasi dan keterampilan yang bermanfaat. Dalam konteks pendidikan, pendekatan etnopedagogi juga mengakui bahwa setiap budaya memiliki cara yang unik dalam mengajar dan belajar. Oleh karena itu, pendidikan melalui pendekatan etnopedagogi akan mempertimbangkan dan menghormati nilai-nilai, keyakinan, dan praktik-praktik budaya yang diperlukan. Pendekatan etnopedagogi juga terkait erat dengan pendidikan multikultural, yang mengakui keberagaman budaya dan lingkungan sosial. Dalam konteks pendidikan multikultural, pendekatan etnope- dagogi mempromosikan pengakuan terhadap keragaman dan inklusi- vitas. Ini dapat membantu untuk mendorong kesadaran antarbudaya, penghargaan terhadap keberagaman, dan penerimaan terhadap perbedaan budaya. Dalam kesimpulannya, pendidikan melalui pen- dekatan etnopedagogi dapat membantu untuk memperkaya kuri- kulum pendidikan dengan pengetahuan dan keterampilan yang unik, mempromosikan pengakuan terhadap keragaman dan inklusivitas, dan meningkatkan kesadaran antarbudaya. Ini semua merupakan langkah penting dalam menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan multikultural. Pendidikan multikultural memuat perangkat kepercayaan yang memandang penting kearifan lokal dan keberagaman yang dimiliki komunitas etnis untuk membentuk gaya hidup, pengalaman sosial, identitas pribadi, dan kelompok sosial maupun negara. Ketika etnopedagogi memandang pengetahuan atau kearifan lokal sebagai sumber inovasi dan keterampilan, dilanjutkan dengan pendidikan multikultural yang memberdayakan inovasi dan keterampilan itu agar dapat menyumbangkan masukan positif bagi kelompok sosial lain dan budaya nasional. Kepemimpinan etnopedagogi diusulkan sebagai alternatif untuk kepemimpinan instruksional. Etnopedagogi menggunakan kearifan lokal untuk mengaktifkan pertumbuhan pembelajaran dan intelektual peserta didik, berbeda dengan pengajaran lain yang mem- perlakukan peserta didik sebagai objek pelaksanaan kurikulum belaka. Etnopedagogi yang sukses membutuhkan guru memahami bagai- mana peserta didik belajar dan memiliki otonomi untuk merancang, melaksanakan dan menilai kegiatan pendidikan yang memenuhi nilai-nilai lokal. Peran pemimpin menghimpun informasi praktek guru dan reflek- si, memberdayakan guru untuk melaksanakan tanggung jawab pro- fesional dan kebijaksanaan, dan menunjukkan pengetahuan yang kredibel atas nilai-nilai local dalam proses belajar dan mengajar. Mengadaptasi pemikiran Neil MacNeill dkk, belajar peserta didik perlu ditingkatkan karena merupakan aspek penting dari kepemim- pinan sekolah.140 Etnopedagogi kepemimpinan dapat dipandang sebagai alternatif yang berbeda gaya kepemimpinan sekolah. 140 Muhamad Fatih Rusydi Syadzili, Kepemimpinan Etnopedagogi dalam Perspektif Semiotika Signifikansi (Studi Multisitus pada MTSN 8 Dan MTS Yapi Pakem Sleman Yogyakarta) Disertasi tidak diterbirkan, (Tulungagung: IAIN Tulungagung, 2021), 54. Dalam pandangan lain, bisa alternatif sebagai salah satu komponen kepemimpinan sekolah. Kepemimpinan belajar mengajar efektif ditandai dengan atribut khusus dari staf, kepala sekolah dan pelaksanna operasional sekolah. Penulis mengusulkan kepemimpinan etnopedagogi yang akan ditunjukkan oleh: Pertama, menjunjung kewajiban moral tentang harapan masyarakat sekolah. Kedua, adanya visi bersama dan misi rasa belajar peserta didik yang mempertimbangkan kearifan lokal. Ketiga, komitmen untuk realisasi misi oleh staf dan peserta didik. Keempat, penerapan pengetahuan ahli tentang pembelajaran dan perkembangan peserta didik. Kelima, peningkatan praktek etnopedagogi. Keenam, keterlibatan dan pemberdayaan staf. Ke- tujuh, kehadiran kepemimpinan yang didistribusikan ke dalam staf. Kedelapan, penekanan pada fungsi etnopedagogi daripada administratif oleh para pemimpin. Kesembilan, penciptaan dan berbagi pengetahuan di seluruh sekolah. Kesepuluh, pengembangan hubungan dan rasa memiliki dengan masyarakat, termasuk para pemangku kepentingan adat. Kesebelas, penerapan pembudayaan kembali mengenai perbaikan kultur sekolah yang mempertimbangkan kearifan lokal. Etnopedagogi yang harus menjadi peran utama dalam semua aspek tentang transfer pengetahuan antargenerasi adat tradisional melalui tradisional, bentuk sarana dan metode pendidikan. Kepemim- pinan etnopedagogi ini untuk pembentukan keterampilan untuk akuisisi kearifan lokal dan sinkronisasi isu pendekatan berbasis ma- syarakat. Perlu pengakuan hak-hak guru dan anak-anak untuk menge- tahuinya, penerapan pengetahuan tradisional sendiri, untuk meng- hidupkan dan melindungi serta mengembangkan budaya sendiri. Indonesia telah menerapkan desentralisasi pemerintahan sejak tahun 1999. Ada tiga model pendidikan desentralisasi, (1) manajemen berbasis lokasi, (2) pemerintah pusat berkurang, dan (3) inovasi kurikulum.141 Menggunakan kebijakan desentralisasi pendidikan, kepala sekolah harus mengakomodasi aspek berharga lokal pada kepemimpinannya. Sekolah memiliki wewenang lebih besar untuk mengelola sendiri. Inovasi kurikulum yang dirancang untuk meningkatkan kualitas pe- serta didik dan kesetaraan. Ini disinkronkan dalam kebutuhan peserta didik di sekolah. Kemudian, menyebar ke daerah yang bervariasi. Etnopedagogi kepemimpinan adalah salah satu komponen paling berharga untuk memenuhi desentralisasi pendidikan di Indonesia. Seperti yang Anda tahu, Indonesia memiliki nilai-nilai tradisional yang berdasarkan adat setempat di seluruh kepulauan Indonesia. Kepemimpinan etnopedagogi menuntut kepala sekolah untuk dapat mengembangkan sensitivitas terhadap kearifan lokal sekaligus peng- hormatan pada identitas budaya, toleransi antarbudaya, pengem- bangan sikap budaya yang responsif, peningkatan kemampuan akademik, peningkatan pengetahuan mengenai kemajemukan kebu- dayaan, meningkatkan kemampuan analisis dan interpretasi perilaku kultural, dan meningkatkan kesadaran kritis tentang kebudayaannya sendiri. Kepemimpinan etnopedagogi yang didasarkan nilai-nilai tradisi Jawa telah diungkap oleh beberapa ahli. Nilai kepemimpinan pendidikan Jawa yang paling dikenal luas adalah adalah konsep kepemimpinan yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara yang terdiri dari 3 aspek kepemimpinan yaitu (1) ing ngarsa sung tuladha, (2) ing madya mangun karsa, dan (3) tut wuri handayani. Konsep kepemimpinan pendidikan ini bahkan diadopsi menjadi nilai penidikan nasional di Indonesia. Ing ngarsa sung tuladha menekankan peran pemimpin sebagai tokoh yang harus bisa diteladani, 141 Irianto, Y.B. & U.S. Saud. Desentralisasi Sistem Pendidikan Nasional. Chapter on Manajemen Pendidikan by Tim Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP UPI, (Bandung: Alfabeta, 2010), xx. yang harus bisa membimbing dan memberi arah ke mana pendidikan di sekolah hendak dibawa. Ing madya mangun karsa artinya bahwa pemimpin pendidikan harus bisa membangkitkan semangat orang- orang yang beliau pimpin. Harus dapat membangkitkan gairah untuk mewujudkan kepentingan bersama. Pemimpin pendidikan adalah juga seorang motivator. Pemimpin pendidikan harus mampu juga bersikap tut wuri handayani, yaitu mampu memberikan kesempatan bagi anggotanya untuk berkembang. Pemimpin pendidikan dikatakan berhasil ketika dia mampu mengedepankan orang lain terlebih dulu. Keberhasilan kepemimpinan pendidikan terkait dengan keber- hasilan dia membuat orang-orang yang dipimpinnya berhasil. Secara hakiki pemimpin pendidikan adalah seseorang yang memegang kendali untuk membuat orang lain mendapatkan kendali. Kewe- nangan yang dimiliki pada hakekatnya adalah kewenangan untuk memungkinkan orang lain memiliki kendali atas pekerjaan dan kehidupannya. Ahli tradisi Jawa menelaah naskah-naskah tradisional Jawa yang secara filosofis menjadi salah satu acuan bagi pemimpin di sekolah. Sri Sultan Hamengku Buwono X, mengemukakan prinsip-prinsip kepemimpinan Sultan Agung seperti yang diungkapkan dalam Serat Sastra Gendhing. Serat Sastra Gendhing merupakan salah satu karya sastra Jawa yang dianggap sebagai panduan bagi para pemimpin dan penguasa. Dalam Serat Sastra Gendhing, Sultan Agung memuat tujuh amanah bagi pemimpin, yaitu: 1. Mengenal diri sendiri; pemimpin harus memahami dirinya sendiri, termasuk kelebihan dan kekurangan yang dimilikinya. Dengan mengenal diri sendiri, pemimpin dapat mengembangkan potensi diri dan menghindari kesalahan dalam kepemimpinan. 2. Memahami tugas dan tanggung jawab; pemimpin harus me- mahami tugas dan tanggung jawabnya sebagai seorang pe- mimpin. Dalam menjalankan tugasnya, pemimpin harus ber- orientasi pada kepentingan masyarakat dan negara. 3. Berpikir jauh ke depan; pemimpin harus dapat berpikir jauh ke depan dan memiliki visi yang jelas untuk masa depan. Dengan demikian, pemimpin dapat mempersiapkan langkah-langkah yang tepat untuk mencapai tujuan yang diinginkan. 4. Bersikap adil; pemimpin harus bersikap adil dalam mengambil keputusan dan memperlakukan semua orang dengan sama. Sikap adil akan membantu pemimpin memperoleh kepercayaan dari rakyatnya. 5. Berani mengambil keputusan; pemimpin harus berani mengambil keputusan yang sulit dan bertanggung jawab atas keputusan tersebut. Keputusan yang tepat akan membawa manfaat bagi masyarakat dan negara. 6. Mampu bekerja sama; pemimpin harus mampu bekerja sama dengan bawahan, rekan kerja, dan masyarakat. Kerjasama yang baik akan membantu mencapai tujuan yang diinginkan dengan lebih efektif. 7. Menjaga kepercayaan dan martabat; Pemimpin harus menjaga kepercayaan dan martabatnya sebagai pemimpin. Dengan demi- kian, pemimpin dapat memperoleh dukungan dan rasa hormat dari rakyatnya.142 Demikianlah tujuh amanah bagi pemimpin yang diungkapkan oleh Sultan Agung dalam Serat Sastra Gendhing. Amanah-amanah ini masih relevan dan dapat dijadikan pedoman oleh para pemimpin saat ini untuk menjalankan tugas dan tanggung jawab kepemimpinannya. 142 Priadi Surya, Kepemimpinan Etnopedagogi di Sekolah, (Yogyakarta: UNY, 2011), 7. DAFTAR PUSTAKA Adi, Depict Pristine, Diktat Sosiologi Pendidikan: Paradigma Baru Pen- didikan Berwawasan Masyarakat, Jember: IAIN Jember, 2020 Afrianur, Fauzia Peningkatan Kompetensi Guru dengan Mewujudkan Pembelajaran Aktif, Inovatif, Lingkungan, Kreatif, Efektif, dan Menarik, 2017 Alwi, Usman Ahmad Badwi, dan Baharuddin, “Jurnal Al–Qiyam” Peran Pendidikan Sebagai Transformasi Sosial dan Budaya, Vol. 2 No. 2 (Desember 2021), http://ojs.staialfurqan.ac.id/alqiyam/ article/view/176 (diakses 10 Februari 2023). Amalia, Diany Rizki, Alfitri, dan Yunindyawati, Solidaritas di Antara Pengrajin Songket: Suatu Tinjauan terhadap Teori Solidaritas Emile Durkheim di Desa Muara Penimbung, Kecamatan Indra- laya, Kabupaten Ogan Ilir, Vol. 5 No. 1, http://journalempirika. fisip.unsri.ac.id/index.php/empirika/article/download/90/pdf (diakses 10 Februari 2023). Amalia, Mailiza “Pekbis Jurnal” Pengaruh Motivasi Belajar, Budaya Sekolah, dan Gaya Belajar Terhadap Prestasi Belajar Siswa Smp Metta Maitreya Pekanbaru, Vol. 9 No. 2, (Juli 2017), https://pekbis.ejournal.unri.ac.id/index.php/JPEB/article/ download/4421/4231 (diakses 10 Februari 2023). Amruddin, dkk, Antropologi dan Sosiologi Kesehatan, Bandung: Media Sains Indonesia: 2022. Anwar Yesmil dan Adang, Pengantar Sosiologi Hukum, Jakarta: Grasindo, 2008. Arif, Arifuddin M, “Moderasi Jurnal Studi Ilmu Pengetahuan Sosial” Perspektif Teori Sosial Emile Durkheim Dalam Sosiologi Pendidikan, Vol. 1, No. 2 (2020), http://moderasi.org/index. php/moderasi/article/view/28 (diakses 10 Februari 2023). Arifandi, Ahmad Shidqi Dian “Edukais: Jurnal Pemikiran Keislaman” Peran Penting Budaya dan Iklim Sekolah dalam Proses Belajar Mengajar, Vol. 04 No. 1, (Juli 2020), http://ejournal.unibo. ac.id/index.php/edukais/article/view/159 (diakses 10 Februari 2023). Arifin, Lalu Muhammad Syamsul “Interaktif: Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial” Filsafat Positivisme Aguste Comte Dan Relevansinya Dengan Ilmu-Ilmu Keislaman, Vol. 12. No. 2 (2020), https://interaktif. ub.ac.id/index.php/interaktif/article/view/238 (diakses 10 Februari 2023). Asbar, Andi Muhammad “JATP” Menakar Eksistensi Homeschooling Sebagai Model Pendidikan Alternatif, Vol. 2 No. 2 (2022), https://e-journal.lp2m.uinjambi.ac.id/ojp/index.php/jatp/ article/view/1382 (diakases 10 Februari 2023). Asmani, Jamal Ma’mur, Tips Menjadi Guru Inspiratif, Kreatif, dan Inovatif, Yogyakarta: Diva Press, 2012. Astomo, Putera ”Masalah-Masalah Hukum” Politik Hukum Penyeleng- garaan Sistem Pendidikan Nasional Yang Responsif Di Era Globalisasi, Vol 50 No. 2 (April 2021), https://ejournal.undip. ac.id/index.php/mmh/article/view/33822/0 (diakses 10 Februari 2023). Aulia, Resha Yuline, Purwanti, “Jurnal Pendidikan dan Pembelajaran Khatulistiwa (JPPK)”. “Pengaruh Iklim Sekolah Terhadap Kedisiplinan Belajar Peserta Didik Kelas X Sma Negeri 7 Pontianak 2019/2020, Vol 10. No. 1. (2021), https://jurnal. untan.ac.id/index.php/jpdpb/article/view/44271 (diakses 10 Februari 2023). Badriyah, Siti “Pendidikan Karakter Perspektif Islam: Telaah Kritis Pemikiran Diane Tillman Tentang Pendidikan (14 September 2017), https://fai.unuja.ac.id/unduh/21/PROCEEDING ICEISC 141-286.pdf. (diakses 10 Februari 2023). Barni, Mahyuddin “Jurnal Transformatif” Tantangan Pendidik di Era Millennial, Vol.. 3No. 1 (April 2019), https://e-journal.iain- palangkaraya.ac.id/index.php/TF/article/view/1251 (diakses 10 Februari 2023) Bascom, W, Four Function of Folklore. The Journal of American Folklore Vol. 67 No. 266 (Oct–Dec 1954). Billington, Ray Living Philosophy: an Introduction to Moral Thought, New York, Routledge & Kegen Paul, 1988. Budimansyah, Dasim Yadi Ruyadi, dan Nandang Rusmana, Model Pen- didikan Karakter di Perguruan Tinggi, Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia, 2010. Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan Jakarta: Prenada, 2019. Dheny, Nur Hidha Rahma Lahirnya Generasi Baru: The Net-Generation, Artikel tidak diterbitkan, (Universitas Airlangga,). Dianto, Icol “Sosiologi Reflektif” Paradigma Perubahan Sosial Perspektif Change Agent dalam Al-Quran: Analisis Tematik Kisah Nabi Yusuf as, Vol. 14 No. 1 (Oktober 2019), https:// ejournal.uin-suka.ac.id/isoshum/sosiologireflektif/article/ view/1476 (diakses 10 Februari 2023). E. Mulyasa, Manajemen dan Kepemimpinan Kepala Sekolah, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2022. Erjen, Khamaganova, Traditional Indigenous Knowledge: Local View. Paper presented in International Workshop on Traditional Knowledge, (Panama City, 21-23 September 2005. Faisal, Sanapiah Sosiologi Pendidikan, Surabaya: Usaha Nasional, 2010. Haddade, Hasyim Strategi Pemberdayaan Madrasah Berbasis Masya- rakat, Gowa: Alauddin University Press, 2021. Hamelink, J. Cees, The Ethics of Cyberspace, London: SAGE Publications, 2004. Hanifah, Nurdinah Sosiologi Pendidikan, Sumedang: UPI Sumedang Press, 2016. Harjali, Penataan Lingkungan Belajar Strategi Untuk Guru Dan Sekolah, Malang: CV. Seribu Bintang, 2019. Hutapea, Edison Bonar Tua “Jurnal Oratio Directa” Konstruksi Realitas Prostitusi Perempuan Hamil di Ibukota (Fenomenologi Interpretatif Pelacuran Perempuan Hamil di Jakarta), Vol. 3 No. 2. (Februari 2022), https://ejurnal.ubk.ac.id/index.php/ oratio/article/view/167. (diakses 10 Februari 2023). Idi, Abdullah, Sosiologi Pendidikan: Individu, Masyarakat, dan Pendidikan, Jakarta: Rajawali Press, 2011. Indy, Ryan Fonny J. Waani, dan N. Kandowangko. “HOLISTIK, Journal Of Social and Culture” Peran Pendidikan dalam Proses Perubahan Sosial di Desa Tumaluntung Kecamatan Kauditan Kabupaten Minahasa Utara.” Vol. 12 No. 4 (Oktober Desember 2019), https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/holistik/article/ view/25466 (diakses 10 Februari 2023). Irianto, Y.B. & U.S. Saud. Desentralisasi Sistem Pendidikan Nasional. Chapter on Manajemen Pendidikan by Tim Dosen Jurusan Administrasi Pendidikan FIP UPI, (Bandung: Alfabeta, 2010. Iskandi, “Tawshiyah” Hubungan Pendidikan dengan Masyarakat dalam Perspektif Sosiologi, Vol. 15, No. 1 (2020), https:// jurnal.lp2msasbabel.ac.id/index.php/taw/article/view/1331 (diakses 10 Februari 2023). Jamaludin, Adon Nasrullah, Sosiologi Perkotaan Memahami Masya- rakat Kota dan Problematikanya, Bandung: CV Pustaka Setia, 2017. Kasnawi, M. Tahir, and Sulaiman Asang. “Konsep dan Pendekatan Perubahan Sosial.” Teori Perubahan Sosial, Vol. IPEM4439/M (2014). Khaldun, Ibnu Al-Muqqadimah, Kairo: al-Maktabah al-Tijariyyah al- Kubra, 1284 H. Komarudin, Muhammad dkk, “Jurnal Sustainable” Pendidikan dalam Mengatasi Problematika Masyarakat Perspektif Sosiologi Pendidikan Islam, Volume 5 Nomor 1 (2022), https://www. jurnal.lp2msasbabel.ac.id/index.php/sus/article/view/3082 (diakses 10 Februari 2023). Kurnia, Heri dkk, Sosiologi Pendidikan, Malang: CV. Literasi Nusantara Abadi, 2021. Lailatu Zahroh, “Jurnal Pendidikan Agama Islam” Urgensi Pembinan Iklim dan Budaya Sekolah, Vol. 03 No. 1 (Mei 2015), http:// jurnalpai.uinsby.ac.id/index.php/jurnalpai/article/view/43 (diakses 10 Februari 2023). Maryamah, Eva “Tarbawi” Pengembangan Budaya Sekolah, Vol. 2. No. 02, (Juli-Desember 2016), http://jurnal.uinbanten.ac.id/index. php/tarbawi/article/download/65/66. (diakses 10 Februari 2023). Miftahul Ulum, dkk, Eksistensi Manusia Perspektif Pendidikan, Jawa Barat: Edu Publisher, 2021. Montolalu, Angger Angelino, “Politico: Jurnal Ilmu Politik”, Peranan Pemerintah dalam Mewujudkan Pendidikan Wajib Belajar di Kecamatan Matuari Kota Bitung, Vol. 1. No. 7 (2015) https://www.neliti.com/publications/1132/peranan- pemerintah-dalam-mewujudkan-pendidikan-wajib-belajar- di-kecamatan-matuar 1137. Mukmin, Taufik “el-Ghiroh” Hubungan Pendidikan dan Stratifikasi Sosial, Vol. XV, No. 02. (September 2018), https://jurnal. staibsllg.ac.id/index.php/el-ghiroh/article/view/64. (diakses 10 Februari 2023). Muri’ah, Siti dan Gianto, Kekerasan Simbolik di Madrasah, Ponorogo: Myria Publisher, 2020. Mustain Mashud, Sosiologi Pembangunan dan Teori Pendekatannya (Jakarta: Universitas Terbuka, 2010), 1.23. Narwoko J. Dwi dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Prenada Media, 2004. Nasith, Ali Tinjauan Terhadap Perubahan Sosial dalam Perspektif Sosiologi Pendidikan, tidak diterbitkan Seminar Nasional Hasil Penelitian Universitas Kanjuruhan Malang (2017). Nuraedah, Sosiologi Pendidikan (dari Masyarakat Hingga Ketidak- setaraan Gender dalam Pendidikan), Makassar: PT Nas Media Indonesia, 2022. Nurmansyah, Gunsu Nunung Rodliyah dan Recca Ayu Hapsari, Pengantar Antropologi Sebuah Ikhtisar Mengenal Antropologi, Bandar Lampung: CV. Anugrah Utama Raharja, 2019. Pilliang, Yasraf Amir, “Jurnal Sosioteknologi”, Masyarakat Informasi dan Digital: Teknologi Informasi dan Perubahan Sosial.” 11.27 (Desember 2012), https://multisite.itb.ac.id/kkik-fsrd/wp- content/uploads/sites/154/2007/04/1.P.-Yasraf.pdf (diakses 10 Februari 2023). Ponirin, dan Lukitaningsih, Sosiologi, Medan: Yayasan Kita Menulis, 2019. Prasetyo dan Hendrikus Ivoni Bambang, Sosiologi Pendidikan,: Ruang Lingkup dan Definisi Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Universitas Terbuka, 2012. Prihatmojo, Agung dkk, Pengantar Landasan Pendidikan, Medan: Yayasan Kita Menulis, 2022. Rahmat, Abdul, Sosiologi Pendidikan, Gorontalo: Ideas Publishing, 2015. Rahmi, dkk. “At-Tarbiyah Jurnal Pendidikan Islam”, Peran Kepala Sekolah Dalam Meningkatkan Kompetensi Pendidik.” Vol. 11. No. 2 (2020), https://ejournal.uinib.ac.id/jurnal/index.php/ attarbiyah/article/view/2174 (diakses 10 Februari 2023). Raho, Bernard, Teori Sosiologi Modern, Maumere: Ledalero, 2021. Ramdani, Yepy Agus Pengembangan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Berbasis Naskah Amanat Galunggung untuk Memperkaya Materi Pembelajaran PKN, (Bandung: UPI, 2017). Rosyid Moh. Zaiful dan Aminol Rosid Abdullah, Reward & Punishment dalam Pendidikan, Malang: Literasi Nusantara, 2018. Ruma Mubarok, “J-PAI: Jurnal Pendidikan Agama Islam “ Pendidikan Humanis John Dewy dalam Perspektif Pendidikan Islam, Vol. 2 No. 1 (Juli-Desember 2015), https://media.neliti.com/media/ publications/321440-pendidikan-humanis-john-dewey- dalam-pers-9f926682.pdf (diakses 10 Februari 2023). Rustandi, Nanang “Tsaqôfah, Jurnal Agama dan Budaya” Agama dan Perubahan Sosial Ekonomi, Vol. 18 No. 02 (Juli-Desember 2020), (New York: Macmillan & Co. Ltd, 1961), http://jurnal. uinbanten.ac.id/index.php/tsaqofah/article/view/3655 (diakses 10 Februari 2023). S. Nasution, Sosiologi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2011. S.W. Septiarti, dkk, Sosiologi dan Antropologi Pendidikan, Yogyakarta: UNY Press, 2017. Saat, Sulaiman “Auladuna”, Guru: Status dan Kedudukannya di Sekolah dan Dalam Masyarakat, VOL. 1 NO. 1 (JUNI 2014), https://core.ac.uk/download/pdf/234746378.pdf (diakses 10 Februari 2023). Saebani, Beni Ahmad, Sosiologi Industri Transformasi Menuju Masyarakat Post-Indusri, (Bandung: 2018), Saimun dan Hanafi, Motivasi Berprestasi Mahasiswa, Lombok Barat NTB: CV ELhikam Press Lombok, 2020. Saripudin, Didin Interpretasi Sosiologis dalam Pendidikan Bandung: Karya Putra Darwati, 2010. Satori Djam’an, Profesi Keguruan dalam Mengembangkan Siswa, Jakarta: Universitas Terbuka 2015. Setianto, Akbar Yuli dkk, Sosiologi Pendidikan, Medan: Yayasan Kita Menulis, 2021. Siraj, Profesi Pendidikan: Tinjauan Teoritik Manajemen Pengembangan Profefesional Guru, Jawa Barat: PT Kimshafi Alung Cipta, 2022. Siswoyo, Dwi Joko Sri Sukardi, dan Ariefa Efianingrum, “Foundasia” Transformasi Nilai-Nilai Inti Budaya dalam Perbaikan Sekolah, Vol. 9 No. 1 (September 2018), https://journal.uny.ac.id/index. php/foundasia/article/view/26163 (diakses 10 Februari 2023). Siti Nurasiah M Dan Djaswidi Al Hamdani, “Tsamrah al-Fikri” Studi Korelasional Antara Komunikasi Guru-Orang Tua, Lingkungan Sekolah, dan Karakter Peserta Didik, Vol. 10, (2016), https:// www.riset-iaid.net/index.php/TF/article/view/10 (diakses 10 Februari 2023). Sodi, Moh. Ali” Perspektive” Sosiologi Sebagai Pendekatan Studi Pendidikan, Vol. 12 No. 2, (Oktober 2019), http://ejournal. kopertais4.or.id/mataraman/index.php/perspektif/article/ view/3919 (diakses 10 Februari 2023). Soekanto, Soerjono Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: Rajawali Press, 2001. Soetjipto dan Reflis Kosasihm, Profesi Keguruan, Jakarta: Rineka Cipta, 2007. Soyomukti, Nurani Pengantar Sosiologi: Dasar Analisis, Teori & Pen- dekatan Menuju Analisis Masalah-Masalah Sosial, Perubahan Sosial, & Kajian-Kajian Strategis, Yogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2014). Suci, I Gede Sedana dkk, Pengantar Sosilogi Pendidikan, Pasuruan: CV. Penerbit Qiara Media, 2020. Sudarman, Enjang Harries Madiistriyatno, Sosiologi dan Manajemen Pendidikan, (Edisi Revisi), Tangerang: Indigo Media, 2022. Suhada, “Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam”, Sosiologi Pendidikan dalam Pembentukan Karakter (Sudut Pandang Sosial), Vol. 3 No. 1 (2020), http://www.jurnal.stitalamin.ac.id/ index.php/alamin/article/view/44 (diakses 10 Februari 2023). Suharto, Toto Pendidikan Berbasis Masyarakat; Relasi Negara dan Masyarakat dalam Pendidikan, Yogyakarta: LKIS, 2017. Surya, Priadi Kepemimpinan Etnopedagogi di Sekolah, Yogyakarta: UNY, 2011. Suryaningsih, Retno “Tlutuh Sawo Jurnal Ilmiah Pendidikan Dan Humaniora” Pentingnya Organisasi Sekolah Bagi Pemba- ngunan Pendidikan,: Vol. 5, No. 4, (April 2021), https:// widyasari-press.com/wp-content/uploads/2021/05/6.- Retno-Suryaningsih-Pentingnya-Organisasi-Sekolah-Bagi- Pembangunan-Pendidikan-2.pdf (diakses 10 Februari 2023). Susanti, Desi dkk, Management Ideas: Teori dan Penerapannya, Bandung: CV Media Sains Indonesia,2022. Syadzili, Muhamad Fatih Rusydi Kepemimpinan Etnopedagogi dalam Perspektif Semiotika Signifikansi (Studi Multisitus pada MTSN 8 Dan MTS Yapi Pakem Sleman Yogyakarta) Disertasi tidak diterbirkan, (Tulungagung: IAIN Tulungagung, 2021) Syarifuddin, “Al Amin: Jurnal Kajian Ilmu dan Budaya Islam” Guru Profesional: dalam Tugas Pokok dan Fungsi (Tupoksi), Volume 3, No 1, (2015 M/1436 H). Tampi, Andreas G. Ch. Evelin J.R. Kawung dan Juliana W. Tumiwa, “e-journal Acta Diurna” Dampak Pelayanan Badan Penyeleng- gara Jaminan Sosial Kesehatan Terhadap Masyarakat di Kelurahan Tingkulu, Volume V. No.1. (2016), https://ejournal. unsrat.ac.id/index.php/actadiurnakomunikasi/article/ view/11717 (diakses 10 Februari 2023). Thomas Gordon, Guru yang Efektif, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1990. Tilaar. H.A.R. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2002. Tjalla, Awaluddin dkk, Orientasi Baru Pedagogi Abad 21, Jakarta Timur: UNJ Press, 2020. Tutuk Ningsih, Sosiologi Pendidikan, Banyumas: CV Rizqunaa, 2020. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen. Wahyu MS, Sosiologi: Tokoh, Teori dan Berbagai Pemikiran, Banjar- masin: Tahura Media, 2020. Wahyuni, Pengantar Sosiologi, Makassar: PKBM Rumah Buku Carabaca, 2018. Wirasasmita, Ricky dan Erry Hendriawan, Implementasi Model Pendi- dikan Masyarakat pada Era Globalisasi. Mimbar Pendidikan, Vol. 5 No. 2,(September 2020) WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Jakarta: PN. Balai Pustaka, 1976. Wulandari, Ayu “JOM FISI” Faktor-Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah Di Kecamatan Senapelan Kota Pekanbaru, Vol. 3 No. 1 (Februari 2016), https://www.neliti.com/publications/32955/ faktor-faktor-penyebab-anak-putus-sekolah-di-kecamatan- senapelan-kota-pekanbaru (diakses 10 Februari 2023). Zaitun, Sosiologi Pendidikan Teori dan Aplikasinya, Pakanbaru: Kreasi Edukasi Publishing And Consulting Company, 2016. DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS Nama : Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Tempat, Tanggal Lahir : Bakung, 08 Maret 1969 Agama : Islam Status Perkawinan : Kawin Pendidikan Terakhir : S-3 Alamat : JL. Luwuk IV. No. 92 Palu No. HP : 081354201812 Email : [email protected] Orang Tua a. Ayah : Sulaiman b. Ibu : Hj. Khadidjah Istri/Suami : Dr. H. Askar, M.Pd. Anak : Muhammad Ghiffari Muhammad Rizki Hamdani Muhammad Faris Lutfhi Pengalaman Kerja : Ketua Program Studi Kependidikan Islam (KI) STAIN Palu–2010 Riwayat Pendidikan a. SD/MI : SD Negeri Inti Masing-1983 b. SMP/MTs : MTs. Negeri Batui-1986 c. SMA/SMK/MA : MA Alkhairaat Palu-1989 d. S1 : IAIN Alauudin Ujung Pandang di Palu-1994 e. S2 : Univ. Negeri Makassar-2006 f. S3 : Univ. Negeri Makassar-2015 Pengalaman Organisasi: - Pengurus Fatayat - Pengurus Majelis Taklim Catatan: Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Dr. Hj. Adawiyah Pettalongi, M.Pd. Sosiologi Pendidikan Sosiologi Pendidikan 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 77 78 79 80 81 82 83 84 85 86 87 88 89 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 100 101 102 103 104 105 106 107 108 109 110 111 112 113 114 115 116 117 118 119 120 121 122 123 124 125 126 127 128 129 130 131 132 133 134 135 136 137 138 139 140 141 142 143 144 145 146 147 148 149 150 151 152